Hubungan
sexual atau jima, seringkali menjadi masalah. Ya itulah rumah tangga, ini bisa
terjadi kepada siapa saja. Baik Anda dekat dengan Allah SWT ataupun tidak, jima
merupakan kebutuhan orang dewasa. Bedanya, antara kita sebagai Muslimin dengan
orang luar, penyikapan dan cara pandang terhadap jima itu sendiri.
Jima
dalam kehidupan sesungguhnya kadang kala tidak seindah yang dibayangkan.
Berbagai masalah bisa timbul soal jima ini. Jika pihak istri biasanya hanya
“nrimo” saja terhadap jima, tidak demikian dengan suami. Ada beberapa hal yang
sering kali menghinggapi pihak suami terkait aktivitas intim nan pribadi ini.
Apa saja?
Nafsu besar tenaga kurang
Seringkali
kali suami begitu menggebu saat mulai melakukan jima, akan tetapi kadang kala
“ada” yang tidak mau bereaksi dan “tetap tertidur”. Masalah ini biasanya
terjadi pada suami yang sudah agak berumur. Berbagai masalah kesehatan seperti
darah tinggi dan diabetes dapat menjadi pemicu hal ini.
Ejakulasi Dini
Jima
cepat selesai umumnya terjadi pada suami yang berusia 40 tahun ke bawah. Faktor
psikologis seperti depresi, khawatir tidak dapat memuaskan istri, kurang
percaya diri, kurangnya komunikasi atau adanya konflik dengan istri adalah
hal-hal yang biasanya menjadi penyebab gangguan jima tersebut.
Ukuran yang menyusut
Jika
perut suami mulai menggelembung ke depan, maka ada yang mungkin menyusut di
bawah perut. Hal ini memang dapat saja terjadi akibat membuncitnya perut suami
yang berdampak pada mengecilnya organ pribadi mereka.
Keraguan memuaskan istri
Sebagian
suami merasa ragu apakah mereka mampu memuaskan istri saat berjima. Hal ini
menimbulkan stress yang berujung pada disfungsi ereksi. Kekwatiran suami ini
dapat terjadi pada suami yang merasa bahwa organ pribadi mereka di bawah ukuran
normal. Padahal pada kenyataannya sekecil apapun organ pribadi, seorang suami
bisa memberikan kepuasaan kepada istrinya.
Istri malas bercinta
Banyak
suami yang mengurut dada jika istri terlihat malas untuk melakukan hubungan
jima. Pasangan yang sudah lama menikah biasanya karena pihak istri yang sudah
capek dalam melakukan aktivitas rumah tangga atau mungkin bekerja. [ubes/ berbagai
sumber]
Kamasutra dalam islam
sebagian
dari fitrah kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat seksual. Islam
memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap dinikmati seorang muslim tanpa
harus kehilangan ritme ibadahnya.
Sebagai
salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam– termasuk
salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang
sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang
disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung
keturunan bani Adam.
Jima’ Itu Ibadah
Selain itu jima’ yang halal juga merupakan ibadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
Selain itu jima’ yang halal juga merupakan ibadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
Karena
bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah
tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan
tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.
Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.
Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.
Ulama
salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan
sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya tidak akan
mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan
jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak
digunakan akan kering sendiri.
Wajahnya Muram
Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”
Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”
Sedangkan
di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah
terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram.
Jima’ juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan
tiada tara yang dihasilkannya.
Orgasme, Faragh
Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.
Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.
Mengapa
wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai
tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah. Ketidakpuasan salah satu
pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan
mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai
dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan
membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang
sah hukumnya juga wajib.
Namun,
kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam
batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan menggunakan dalih
meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks menyimpang, seperti sodomi
(liwath) yang secara medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan
dalam aktivitas seks (mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang
belakangan kerap terjadi.
Maka,
sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa
wajibun” (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga
wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’
kepada faragh juga hukumnya wajib.
Bagi
kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah
mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan
kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah
panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.
Foreplay: Ciuman
Salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.
Salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.
Karena
dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah
SAW. Beliau bersabda,
“Janganlah
salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah
ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR.
At-Tirmidzi).
Ciuman
dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah
SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum
lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri
sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.
Ketika
Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau
tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang
dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim
(II:1087).
Bau Mulut
Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan.
Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan.
Sedangkan
rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan,
menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih
kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram
diucapkan kepada selain istrinya.
Sentuhan
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.
Syaikh
Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya
yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari,
“Diperbolehkan
bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya,
termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati
dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan
Imam Malik dan ulama lainnya.”
Berkat
kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang
berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’,
suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA,
ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalm satu bejana…” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Untuk
mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui
dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing.
Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami
istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang
maksimal saat berjima’.
Mendesah
Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”
Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”
Satu
hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu
posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya
kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks.
Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu
tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya.
Allah SWT berfirman,
Allah SWT berfirman,
“Istri-istrimu
adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian
kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
Posisi Ijba’, Doggy Style
Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.
Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.
Ijba
adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang.
Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar
perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima’ dengan cara
ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.
Terkait
dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut
menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan
cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak
diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam yang
dimaksud adalah berketurunan.
Muhammad
Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang
(hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan
cara apa pun: berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”
Demikianlah,
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran
yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera
kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi
tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani
fitrah kemanusiannya. (ubes / berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar