Kamis, 16 Oktober 2014

Karawang Tempo Doeloe 1


Keunikan kultur Karawang
Karawang Keunikan kultur Karawang mengundang banyak peneliti arkeolog berlomba menguak tabir yang menyelimutinya. Beranjak dari seorang peneliti asing yang mengupas sisi-sisi budaya, sejarah, dan arkeologi, seperti N.J. Krom, H. Kern, dan Jean Boisselier. Lantas dilanjutkan ahli filologi-arkeologi dari Indonesia, seperti R.M.Ng. Poerbatjaraka, R.M. Sutjipto Wirjosuparto, R.P. Soejono, Hasan Djafar, Ayatrohaedi, Edi Sedyawati, Edi S. Ekadjati, dan R. Cecep Eka Permana.

Seperti sebuah dunia kecil yang terus bertahan pada warisan masa silamnya, Karawang yang pernah “meleburkan” lima agama dalam sebuah persemaian itu mampu menyerap sikap harmoni beragama yang diajarkan para leluhurnya dalam rupa-rupa detail kehidupan. Di Karawang, nyanyian Sunda ditembangkan di dalam gereja, lagu beratmosfer Hindu dinyanyikan sinden muslim, dan umat Buddha sibuk menyiapkan perayaan maulid: sebuah oasis di tengah kawasan pantai utara yang riuh oleh industri dan perniagaan.

Hingga kini, Karawang masih misteri? Karawang, bukan sekedar bekas berdirinya Kerajaan tertua Nusantara, yaitu bekas Kerajaan Tarumanegara, atau daerah bekas jajahan kolonial semata, atau bekas tapak sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, tapi Karawang memiliki misteri kekayaan yang luar biasa. Karawang mulai terungkap.

Dari hasil penggalian dan pengkajian, para arkeolog kemudian menemukan hal yang unik. Ternyata kompleks percandian Cibuaya lebih memperlihatkan ciri keagamaan bercorak Hindu, yang dibuktikan dengan hadirnya arca Wisnu. Sedangkan kompleks percandian Batujaya memperlihatkan ciri keagamaan yang bersifat Buddhis, seperti ditemukannya votive tablet bergambar relief Buddha, fragmen prasasti terakota berisi mantram agama Buddha dengan huruf Pallawa berbahasa Sanskerta.

Di Cibuaya dan Batujaya juga ditemukan menhir, sebagai agama prasejarah bersifat animisme-dinamisme. Dari situ dia melontarkan kesimpulan, betapa masyarakat Karawang tidak hanya memiliki semangat toleransi, tapi juga mampu menyerap budaya luar, sehingga mengakar menjadi jati diri dan kultur khas Karawang.

Pada masa yang bersamaan dengan Kerajaan Tarumanagara, di Karawang hidup tiga agama yang berdampingan secara harmonis,” kata Hasan.

Sikap terbuka masyarakat dalam menerima kedatangan agama-agama baru di Karawang juga berlangsung pada masa-masa sesudahnya. Petilasan Syekh Hasanuddin Quro di Desa Pulo Kalapa, Lemah Abang, menunjukkan penerimaan yang baik dari warga Karawang terhadap agama Islam. Syekh Hasanuddin Quro dikenal sebagai pendiri pesantren tertua di Karawang dan Jawa Barat, pada 1416.

Suasana damai juga dirasakan umat Buddha yang mendirikan Wihara Sian Jin Kupo pada 1770 dan Wihara Bio Kwan Tee Koen pada akhir abad ke-19. Begitu pula umat Nasrani yang pada 1899 mendirikan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Immanuel”. Demikian, tegas Hasan.

Dalam penelitian yang dilakukan sejak 1985 sampai saat ini, situs Batujaya, yang sebarannya meliputi Kecamatan Batujaya dan Pakisjaya, memiliki tidak kurang dari 24 candi. Dari 24 candi yang telah disurvei, baru 11 candi yang diteliti dan digali secara intensif.
Penemuan candi yang luasnya mencapai ratusan hektare di Provinsi Jawa Barat tersebut sekaligus menggugurkan pendapat bahwa kompleks percandian hanya berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain situs Cibuaya dan Batujaya, di Jawa Barat ditemukan candi di situs Binangun (Pamarican), Pananjung (Ciamis), Batu Kalde (Pangandaran).
Bahkan bisa jadi, Cibuaya dan Batujaya merupakan kompleks percandian tertua di Pulau Jawa”, kata Hasan Djafar.
Alasannya, candi-candi itu berhubungan dengan Kerajaan Tarumanagara, yang berkuasa pada abad ke-5-7 Masehi. Meski begitu, ada pula penemuan arkeologis masa awal Kerajaan Galuh, abad ke-8-9 Masehi. Dengan demikian, pada masa lampau, Karawang pernah dijadikan pusat keagamaan (religious-center), sekaligus kota suci bagi penganut Hindu, Buddha, dan animisme-dinamisme. (ubes)

0 komentar:

Posting Komentar