Keunikan kultur Karawang
Karawang Keunikan kultur
Karawang mengundang banyak peneliti arkeolog berlomba menguak tabir yang
menyelimutinya. Beranjak dari seorang peneliti asing yang mengupas sisi-sisi
budaya, sejarah, dan arkeologi, seperti N.J. Krom, H. Kern, dan Jean
Boisselier. Lantas dilanjutkan ahli filologi-arkeologi dari Indonesia, seperti
R.M.Ng. Poerbatjaraka, R.M. Sutjipto Wirjosuparto, R.P. Soejono, Hasan Djafar,
Ayatrohaedi, Edi Sedyawati, Edi S. Ekadjati, dan R. Cecep Eka Permana.
Seperti sebuah dunia kecil yang terus bertahan
pada warisan masa silamnya, Karawang yang pernah “meleburkan” lima agama dalam sebuah
persemaian itu mampu menyerap sikap harmoni beragama yang diajarkan para
leluhurnya dalam rupa-rupa detail kehidupan. Di Karawang, nyanyian Sunda
ditembangkan di dalam gereja, lagu beratmosfer Hindu dinyanyikan sinden muslim,
dan umat Buddha sibuk menyiapkan perayaan maulid: sebuah oasis di tengah
kawasan pantai utara yang riuh oleh industri dan perniagaan.
Hingga kini, Karawang masih misteri? Karawang,
bukan sekedar bekas berdirinya Kerajaan tertua Nusantara, yaitu bekas Kerajaan
Tarumanegara, atau daerah bekas jajahan kolonial semata, atau bekas tapak sejarah
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, tapi Karawang memiliki misteri
kekayaan yang luar biasa. Karawang mulai terungkap.
Dari hasil penggalian dan pengkajian, para
arkeolog kemudian menemukan hal yang unik. Ternyata kompleks percandian Cibuaya
lebih memperlihatkan ciri keagamaan bercorak Hindu, yang dibuktikan dengan
hadirnya arca Wisnu. Sedangkan kompleks percandian Batujaya memperlihatkan ciri
keagamaan yang bersifat Buddhis, seperti ditemukannya votive tablet bergambar
relief Buddha, fragmen prasasti terakota berisi mantram agama Buddha dengan
huruf Pallawa berbahasa Sanskerta.
Di Cibuaya dan Batujaya juga ditemukan menhir,
sebagai agama prasejarah bersifat animisme-dinamisme. Dari situ dia melontarkan
kesimpulan, betapa masyarakat Karawang tidak hanya memiliki semangat toleransi,
tapi juga mampu menyerap budaya luar, sehingga mengakar menjadi jati diri dan
kultur khas Karawang.
“Pada masa
yang bersamaan dengan Kerajaan Tarumanagara, di Karawang hidup tiga agama yang
berdampingan secara harmonis,” kata Hasan.
Sikap terbuka masyarakat dalam menerima
kedatangan agama-agama baru di Karawang juga berlangsung pada masa-masa
sesudahnya. Petilasan Syekh Hasanuddin Quro di Desa Pulo Kalapa, Lemah Abang,
menunjukkan penerimaan yang baik dari warga Karawang terhadap agama Islam.
Syekh Hasanuddin Quro dikenal sebagai pendiri pesantren tertua di Karawang dan
Jawa Barat, pada 1416.
“Suasana
damai juga dirasakan umat Buddha yang mendirikan Wihara Sian Jin Kupo pada 1770
dan Wihara Bio Kwan Tee Koen pada akhir abad ke-19. Begitu pula umat Nasrani
yang pada 1899 mendirikan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Immanuel”.
Demikian, tegas Hasan.
Dalam penelitian
yang dilakukan sejak 1985 sampai saat ini, situs Batujaya, yang sebarannya
meliputi Kecamatan Batujaya dan Pakisjaya, memiliki tidak kurang dari 24 candi.
Dari 24 candi yang telah disurvei, baru 11 candi yang diteliti dan digali
secara intensif.
Penemuan candi
yang luasnya mencapai ratusan hektare di Provinsi Jawa Barat tersebut sekaligus
menggugurkan pendapat bahwa kompleks percandian hanya berada di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Selain situs Cibuaya dan Batujaya, di Jawa Barat ditemukan candi di
situs Binangun (Pamarican), Pananjung (Ciamis), Batu Kalde (Pangandaran).
“Bahkan bisa jadi, Cibuaya dan Batujaya
merupakan kompleks percandian tertua di Pulau Jawa”, kata Hasan Djafar.
Alasannya,
candi-candi itu berhubungan dengan Kerajaan Tarumanagara, yang berkuasa pada
abad ke-5-7 Masehi. Meski begitu, ada pula penemuan arkeologis masa awal
Kerajaan Galuh, abad ke-8-9 Masehi. Dengan demikian, pada masa lampau, Karawang
pernah dijadikan pusat keagamaan (religious-center), sekaligus kota suci bagi
penganut Hindu, Buddha, dan animisme-dinamisme. (ubes)
0 komentar:
Posting Komentar