Sebagai awal, tulisan ini
merupakan pengantar dari misteri keberadaan Masjid Agung Karawang Lama dan juga
sekaligus Misteri Peran Syekh Quro dalam penyebaran Agama Islam di
Karawang, serta beberapa kisah yang sempat dituturkan Imam Masjid Agung
beberapa Waktu lalu.
Keberadaan Masjid Agung
Karawang yang saat ini kokoh berdiri tidak terlepas dari sosok Syekh Quro atau
Syekh Hasanudin Penyebar Agama Islam di Jawa Barat khususnya di Karawang. Ia
menjadikan Masjid Agung Karawang sebagai seorang dai dan muballigh penyebaran agama Islam.
Syekh Quro atau yang bernama
asli Syekh Hasanudin yang datang dari Champa (Kamboja) mendatangi pertama kali,
di daerah Karawang dalam rangka untuk
memantau wilayah dakwahnya, kemudian dalam kedatangan yang kedua belia membawa
beberapa murid untuk mengaji dan sekaligus mendirikan pesantren di daerah karawang ini,
tapatnya pada tahun 1418 M. Pada kunjungan yang kedua inilah Syekh Quro
mendarat di pelabuhan Bunut, Desa Bunut Karawang dan mendirikan mushola dan
pesantren (yang sekarang menjadi masjid Agung Karawang).
Menurut informasi dari petugas DKM Masjid Agung Karawang dikatakan
sudah banyak ahli sejarah yang telah berusaha keras untuk menguak misteri
berdirinya Masjid Agung Karawang, dari sekian banyak versi ada terdapat benang
merah yang dapat ditelusuri contohnya adalah dimulainya penyebaran Agama Islam
di Pulau Jawa khususnya Jawa Barat di mulai pada tahun 1404 masehi, dimana nyai
Subang Larang atau versi lain yang menyebutkan sebagai Subang Karancang, Dikisahkan
sebagai nenek Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang merupakan salah
satu wali songo periode kelima.
Diceritakan Syekh Hasanudin
merupakan putera dari Syekh Yusuf Sidik/ Idofi seorang Ulama Besar dari Champa
(Kamboja). Ia Kemudian melakukan penyebaran agama Islam ke Nusantara,
ketika itu ia berlabuh di pelabuhan Cirebon yang kala itu juga dibawah
pengawasan Ki Gedeng Tapa/Ki Gedeng Jumajan Jati.
Kemudian Syekh Hasanudin
meminta izin untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon kepada Ki Gedeng Tapa
yang pada akhirnya menyetujui dan mempersilahkan Syekh Hasanudin menyebarkan
keyakinannya
Kemudian, Syekh Hasanudin
memutuskan kembali ke pulau Jawa bersama muridnya Nyi Subang Larang, namun kali
ini tidak merapat di Cirebon melainkan memalaui jalur lain yaitu ujung
Karawang.
Ia beserta Muridnya menyusuri
Sungai Citarum dan menambatkan perahunya di Pelabuhan Karawang yaitu Bunut
Kertayasa (Saat ini dikenal sebagai Kampung Bunut).
Syekh Hasanudin kemudian
meminta izin kepada penguasa setempat untuk mendirikan bangunan sebagai tempat
tinggal sekaligus tempat pendidikan (mengaji), tempat tersebut dikemudian hari
dikenal sebagai Pesantren Quro (Saat Ini dikenal sebagai kawasan Masjid Agung
Karawang) pada tahun 1418
Masehi.
Di sinilah awal dari
berkembangnya generasi ummat Islam, dimana Syekh Quro membuka model pendidikan
Islam Pertama di Indonesia, membuka pondok pesantren pertama di Nusantara. Pondok
inilah sebagai cikal bakal pertama tumbuhnya sistem pembinaan ummat seutuhnya. Dari
berbagai penjuru kota di Indonesia para murid datang ke Karawang ini, baik dari
Aceh, Sumatra, Jawa Timur, Cirebon, Sumedang Larang, Galuh, dan dari peloksok daerah, mereka yang sengaja diutus
orang tuanya atau keluarganya dan saudaranya untuk belajar di tempat ini.
Kegiatan dakwah dan pendidikan
terus berlangsung memancar dari kota ini, sampai pada akhirnya ada kebijakan
dari kerajaan Pajajaran untuk memberhentikannya. Yaitu adanya larangan kegiatan
aktifitas Syekh Quro oleh kepemimpinan Raja Galuh yang kala itu di pimpin
oleh Prabu Angga Larang/Niskala Wastu Kancana.
Walau demikian, niat dan
semangat Syekh Quro tidak pernah surut, beliau terus berjuang menegakkan Islam
di Karawang ini. Sebagai cikal bakal pengembangan Islam lebih lanjut kedepan. Hingga
akhirnya Islam, dan generasi ummat terbentuk dari murid-murid yang dididik di daerah
Karawang ini, dan kemudian mengembang ke seluruh nusantara Indonesia.
Namun demikian, pada suatu
waktu, Karawang sudah tidak aman lagi, dimana para raja-raja yang meliputi
pajajaran sudah saling berebut kekuasaan, peperangan terjadi antar kerajaan
pasundan, dan Karawang sebagai daerah strategis, tidak hanya menjadii tapal
batas dan aksi peperangan antar pasukan kerajaan, Karawang juga tempat daerah
incaran para kompeni Belanda dan kaum penjajah multi internasional yang
bercokol di nusantara saat itu, akhirnya guna menghindari pertumpahan darah
Syekh Hasanudin memutuskan untuk meninggalkan pulau Jawa dengan bertolak
ke Malaka.
Memang sebelum peristiwa
perang antar kerajaan itu, kegiatan Syekh Hasanudin ini telah dilarang oleh Raja
Galuh kala itu Prabu Angga Larang. Sempat,
akhirnya ia mengutus cucunya Raden Pamanah Rasa / Jaya Dewata untuk membubarkan
pusat pendidikan (Pesantren) Syekh Hasanudin. Singkat cerita Raden Pamanah
Rasa datang lengkap dengan pasukan kerajaan menyambangi pesantren Quro, setelah
tiba disana ia secara tidak sengaja mendengar alunan merdu ayat suci Al-Quran
yang dilantunkan oleh Nyi Subang Larang.
Ia kemudian tertarik mendengar
lantunan ayat-ayat suci Alquran tersebut yang akhirnya meluluhkan niatnya untuk
membubarkan pesantren dan kembali ke Galuh. Sejak peristiwa tersebut Prabu
Pamanah Rasa tidak dapat melupakan kejadian tersebut, ia selalu terngiang akan
lantunan suara Nyi Subang Larang yang melantunkan ayat Suci Alquran,
sehingga ia memutuskan datang ke pesantren kembali untuk melamar Nyi Subang
larang.
Raden Pamanah Rasa akhirnya
mendatangi Syekh Hasanudin dan mengutarakan keinginannya untuk mempersunting Nyi
Subang Larang. Pucuk dicinta ulam pun tiba, akhirnya lamaran diterima
namaun dengan syarat, yaitu mas kawin harus Bintang Saketi (bintang Kerti) yang
dilambangkan simbol Tasbih dengan kata lain Prabu Pamanah Rasa harus masuk
Islam dan Syarat kedua adalah salah satu keturunan dari anak yang dilahirkan
harus menjadi Raja Galuh/ karena waktu itu kerajaan Pajajaran belum terbentuk.
Akhirnya syaratpun diterima
dan pernikahan dilaksanakan di Pesantren Quro, sebagai penghulunya adalah Syekh
Hasanudin atau Syekh Quro dan menurut informasi yang di dapat kala itu Nyi
Subang Larang berusia 14 tahun dan Raden Pamanah Rasa kemudian menjadi Raja
Pajajaran Bergelar Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maha Raja.
Dari hasil perkawianan ini
dikaruniai tiga orang Anak, yaitu : Raden Walangsungsang / R. Cakra Buana, Nyi
Mas Rara Santang / Sarifah Muda’im, dan Raden Sengara / Kean Santang. Kemudian
Raden Walangsungsang diberi kekuasan untuk menguasai Cirebon dengan gelar Cakra
Ningrat/ Cakra Buana.
Menurut cerita sewaktu Raden
Walngsungsang dan Nyi Mas Rara Santang Menuntut ilmu di Makkah, Nyi Mas Rara
Santang dipersuntung oleh bangsawan Makkah yaitu Syekh Syarif Abdillah,
kemudian Nyi Rara Santang mengganti namanya dengan Syarifah Muadaim dan
dikaruniai dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Narullah. Kemudian,
pada Tahun 1475 M, Syarifah Muadaim beserta puteranya Syarif Hidayatullah
kembali kepulau Jawa, dari situ dikarenakan Pangeran Cakra Buana Telah Sepuh
pemerintahan diserahkan kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Sunan Gung Jati.
(ubes)
0 komentar:
Posting Komentar