Rabu, 15 Oktober 2014

SEPERCIK JEJAK SYEKH QURO DAN MASJID AGUNG KARAWANG





Sebagai awal, tulisan ini merupakan pengantar dari misteri keberadaan Masjid Agung Karawang Lama dan juga sekaligus Misteri Peran Syekh Quro dalam penyebaran Agama Islam di Karawang, serta beberapa kisah yang sempat dituturkan Imam Masjid Agung beberapa Waktu lalu.

Keberadaan Masjid Agung Karawang yang saat ini kokoh berdiri tidak terlepas dari sosok Syekh Quro atau Syekh Hasanudin Penyebar Agama Islam di Jawa Barat khususnya di Karawang. Ia menjadikan Masjid Agung Karawang sebagai seorang dai  dan muballigh penyebaran agama Islam.

Syekh Quro atau yang bernama asli Syekh Hasanudin yang datang dari Champa (Kamboja) mendatangi pertama kali, di daerah Karawang dalam rangka  untuk memantau wilayah dakwahnya, kemudian dalam kedatangan yang kedua belia membawa beberapa murid untuk mengaji dan sekaligus  mendirikan pesantren di daerah karawang ini, tapatnya pada tahun 1418 M. Pada kunjungan yang kedua inilah Syekh Quro mendarat di pelabuhan Bunut, Desa Bunut Karawang dan mendirikan mushola dan pesantren (yang sekarang menjadi masjid Agung Karawang).

Menurut  informasi dari  petugas DKM Masjid Agung Karawang dikatakan sudah banyak ahli sejarah yang telah berusaha keras untuk menguak misteri berdirinya Masjid Agung Karawang, dari sekian banyak versi ada terdapat benang merah yang dapat ditelusuri contohnya adalah dimulainya penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa khususnya Jawa Barat di mulai pada tahun 1404 masehi, dimana nyai Subang Larang atau versi lain yang menyebutkan sebagai Subang Karancang, Dikisahkan sebagai nenek Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang merupakan salah satu wali songo periode kelima.

Diceritakan Syekh Hasanudin merupakan putera dari Syekh Yusuf Sidik/ Idofi seorang Ulama Besar dari Champa (Kamboja). Ia Kemudian melakukan penyebaran agama Islam ke Nusantara, ketika itu ia berlabuh di pelabuhan Cirebon yang kala itu juga dibawah pengawasan Ki Gedeng Tapa/Ki Gedeng Jumajan Jati.

Kemudian Syekh Hasanudin meminta izin untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon kepada Ki Gedeng Tapa yang pada akhirnya menyetujui dan mempersilahkan Syekh Hasanudin menyebarkan keyakinannya
Kemudian, Syekh Hasanudin memutuskan kembali ke pulau Jawa bersama muridnya Nyi Subang Larang, namun kali ini tidak merapat di Cirebon melainkan memalaui jalur lain yaitu ujung Karawang.
Ia beserta Muridnya menyusuri Sungai Citarum dan menambatkan perahunya di Pelabuhan Karawang yaitu Bunut Kertayasa (Saat ini dikenal sebagai Kampung Bunut).

Syekh Hasanudin kemudian meminta izin kepada penguasa setempat untuk mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pendidikan (mengaji), tempat tersebut dikemudian hari dikenal sebagai Pesantren Quro (Saat Ini dikenal sebagai kawasan Masjid Agung Karawang) pada tahun 1418 Masehi.

Di sinilah awal dari berkembangnya generasi ummat Islam, dimana Syekh Quro membuka model pendidikan Islam Pertama di Indonesia, membuka pondok pesantren pertama di Nusantara. Pondok inilah sebagai cikal bakal pertama tumbuhnya sistem pembinaan ummat seutuhnya. Dari berbagai penjuru kota di Indonesia para murid datang ke Karawang ini, baik dari Aceh, Sumatra, Jawa Timur, Cirebon, Sumedang Larang, Galuh, dan  dari peloksok daerah, mereka yang sengaja diutus orang tuanya atau keluarganya dan saudaranya untuk belajar di tempat ini.

Kegiatan dakwah dan pendidikan terus berlangsung memancar dari kota ini, sampai pada akhirnya ada kebijakan dari kerajaan Pajajaran untuk memberhentikannya. Yaitu adanya larangan kegiatan aktifitas Syekh Quro oleh kepemimpinan Raja Galuh  yang kala itu di pimpin oleh Prabu Angga Larang/Niskala Wastu Kancana.

Walau demikian, niat dan semangat Syekh Quro tidak pernah surut, beliau terus berjuang menegakkan Islam di Karawang ini. Sebagai cikal bakal pengembangan Islam lebih lanjut kedepan. Hingga akhirnya Islam, dan generasi ummat terbentuk dari murid-murid yang dididik di daerah Karawang ini, dan kemudian mengembang ke seluruh nusantara Indonesia.

Namun demikian, pada suatu waktu, Karawang sudah tidak aman lagi, dimana para raja-raja yang meliputi pajajaran sudah saling berebut kekuasaan, peperangan terjadi antar kerajaan pasundan, dan Karawang sebagai daerah strategis, tidak hanya menjadii tapal batas dan aksi peperangan antar pasukan kerajaan, Karawang juga tempat daerah incaran para kompeni Belanda dan kaum penjajah multi internasional yang bercokol di nusantara saat itu, akhirnya guna menghindari pertumpahan darah  Syekh Hasanudin memutuskan untuk meninggalkan pulau Jawa dengan bertolak ke Malaka. 

Memang sebelum peristiwa perang antar kerajaan itu, kegiatan Syekh Hasanudin ini telah dilarang oleh Raja Galuh kala itu Prabu Angga Larang.  Sempat, akhirnya ia mengutus cucunya Raden Pamanah Rasa / Jaya Dewata untuk membubarkan pusat pendidikan (Pesantren) Syekh Hasanudin. Singkat cerita Raden Pamanah Rasa datang lengkap dengan pasukan kerajaan menyambangi pesantren Quro, setelah tiba disana ia secara tidak sengaja mendengar alunan merdu ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh Nyi Subang Larang.

Ia kemudian tertarik mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran tersebut yang akhirnya meluluhkan niatnya untuk membubarkan pesantren dan kembali ke Galuh. Sejak peristiwa tersebut Prabu Pamanah Rasa tidak dapat melupakan kejadian tersebut, ia selalu terngiang akan lantunan suara Nyi Subang Larang yang  melantunkan ayat Suci Alquran, sehingga ia memutuskan datang ke pesantren kembali untuk melamar Nyi Subang larang.

Raden Pamanah Rasa akhirnya mendatangi Syekh Hasanudin dan mengutarakan keinginannya untuk mempersunting Nyi Subang Larang. Pucuk dicinta ulam pun tiba, akhirnya lamaran diterima namaun dengan syarat, yaitu mas kawin harus Bintang Saketi (bintang Kerti) yang dilambangkan simbol Tasbih dengan kata lain Prabu Pamanah Rasa harus masuk Islam dan Syarat kedua adalah salah satu keturunan dari anak yang dilahirkan harus menjadi Raja Galuh/ karena waktu itu kerajaan Pajajaran belum terbentuk.

Akhirnya syaratpun diterima dan pernikahan dilaksanakan di Pesantren Quro, sebagai penghulunya adalah Syekh Hasanudin atau Syekh Quro dan menurut informasi yang di dapat kala itu Nyi Subang Larang berusia 14 tahun dan Raden Pamanah Rasa kemudian menjadi Raja Pajajaran Bergelar Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maha Raja.

Dari hasil perkawianan ini dikaruniai tiga orang Anak, yaitu : Raden Walangsungsang / R. Cakra Buana, Nyi Mas Rara Santang / Sarifah Muda’im, dan Raden Sengara / Kean Santang. Kemudian Raden Walangsungsang diberi kekuasan untuk menguasai Cirebon dengan gelar Cakra Ningrat/ Cakra Buana.

Menurut cerita sewaktu Raden Walngsungsang dan Nyi Mas Rara Santang Menuntut ilmu di Makkah, Nyi Mas Rara Santang dipersuntung oleh bangsawan Makkah yaitu Syekh Syarif Abdillah, kemudian Nyi Rara Santang mengganti namanya dengan Syarifah Muadaim dan dikaruniai dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Narullah. Kemudian, pada Tahun 1475 M, Syarifah Muadaim beserta puteranya Syarif Hidayatullah kembali kepulau Jawa, dari situ dikarenakan Pangeran Cakra Buana Telah Sepuh pemerintahan diserahkan kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Sunan Gung Jati.  (ubes)

0 komentar:

Posting Komentar