Sabtu, 01 November 2014

Bagaimana Menjelajah di Lintasan Berbagai Alam Spritual




Di antara mereka menghormatiku  di bumi,
yang lainnya  menghormatiku di udara.
Di antara mereka menghormatiku  di manapun aku berada,
yang lainnya  menghormatiku  di langit.
Mereka mengajariku dan aku pun mengajarinya.
Namun, keberadaanku tidak sama.
Aku tetap di dalam entitasku.
Mereka tidak tetap dalam entitasnya.
Mereka menjelmakan diri dalam berbagai bentuk.
Seperti air yang masuk di dalam cangkir yang berwarna.

(Ibnu Arabi, dalam Kitab Futuhat Al-Makkiyah, Juz 1 h 735)


Puisi di atas merupakan ilustrasi yang menggambarkan seseorang mampu melakukan perjalanan berkelana, mencari, menjelajah, berinteraksi, berkomunikasi, dan bahkan berguru kepada makhluk yang berada di alam-alam lain. Apakah mungkin seseorang bisa berkomunikasi dan saling mengambil manfaat satu sama lainnya di dalam alam yang  berbeda? Sangat nampak jawabannya, adalah mungkin. Sebagaimana dilakukan orang-orang khusus yang berhasil menembus hijab atau menyingkap tabir yang juga diisyaratkan dalam Alquran dan hadits. Ternyata tidak sedikit orang berhasil mengakses dan berkomunikasi dengan penghuni alam spiritual itu.


Pengalaman batin Ibnu Arabi yang diungkapkan dalam bentuk puisi (syair) seperti dikutip di atas, merupakan saksi nyata, bahwa alam-alam lainnya bisa ditembus, bisa ditempati  dan para penghuninya bisa saling melakukan komunikasi interaktif dengan kita secara nyata.

Sebuah fakta. Ketika saya menghadiri ceramah pengajian Syekh Hisyam (dari Thariqah Naqsabandiyah Haqqani), saat itu dilaksanakan di kediaman Habib al-Mundzir Jakarta,di tengah akhir ceramanya beliau membagikan ijazah thoriqah tersebut kepada semua mustami’, dan saya ada di dalam ruangan majlis tersebut. Saat itu juga, seakan musryidku yang berada di wilayah Cirebon datang dan berkomunikasi dengan Syekh Hisyam sambil berkata, “wahai Syekh di majlis anda ada yang sudah punya thoriqah”. Langsung seketika Syekh Hisyam, menarik kalimatnya, dengan berkata: “bagi yang sudah memiliki thoriqah boleh mengambilnya sebagai tabarruk saja ya”. Di sisi yang bersamaan, mursyidku juga berpesan, dengan berkata: “jaga ideologi thoriqahmu”. Kalimat ini sangat jelas dan menggetarkan hati sanubariku. Padahal mursyidku  sangat jauh nan di sana.


Sebuah fakta lainnya. Ketika saya menghadiri ceramah pengajian Kelompok Majlis Ta’lim Ahbabur Rosul Karawang yang dipimpin oleh ustad Alwi. Pengajian tersebut dilaksanakan di Masjid Agung Karawang Jawa Barat, dalam pengajian mengundang seorang ulama besar dari murid Syekh Nadim, dalam kali ini yang diundang adalah Syekh Hisyam al-Kabbani (dari Thariqah Naqsabandiyah Haqqani), di awal ceramahnya, beliau mengatakan, bahwa beliau datang di Masjid Agung tersebut didampingingi  gurunya, Syekh Nadim al-Haqqoni (yang secara nyata sejak awal beliau hanya sendiri bersama murid-muridnya tanpa diiringi sang syekh, sebab Syekh Nadin sejak lama wafat), keduanya masuk ke masjid Agung disambut oleh seorang ulama Besar Pendiri Thoriqah Rifa’iyah, yaitu Syekh Rifa’i (yang secara nyata beliau juga adalah hidup di zaman tahun 419 Hijryah, seribu tahun yang lalu). Namun beliau, Syekh Hisyam menjelaskannya secara tegas, bahwa beliau pun merasa aneh kenapa Syekh Nadim gurunya juga ikut hadir saat masuk ke Masjid tersebut dan saya disudutkan oleh guru untuk bersalaman dengan Syekh Rifai tersebut.


Kemudian, Syekh Hisam melanjutkan ceramah umumnya kepada murid-muridnya dan kepada semua mustami’ dengan tema fadilah shalawat, dan sekaligus sebagai akhir ceramahnya beliau membagikan ijazah thoriqah tersebut kepada semua mustami’.


Fenomena dan realitas semacam ini di kalangan para pengamal thoriqoh sangat banyak, namun demikian, walau banyak tidak semua orang mampu melakukan itu kecuali yang dianugrahi keistimewaan fenomenal tersebut. Mampukah kita melakukan dan memiliki kemampuan tersebut? Setiap diri kita punya peluang untuk mampu memiliki kapasitas semua itu, akan tetapi masalahnya di sini adalah mekanisme apa yang dilalui para sufi yang berhasil menembus batas alam spiritual tersebut? Sebelum membahas pertanyaan ini, terlebih dahulu kita perlu memahami apa yang dimaksud alam oleh para pengamal thariqoh atau kaum sufi.


Alam, jika ditilik secara kebahasaan, alam berasal dari akar kata alima-ya’lamu, berarti mengetahui. Prof Dr Nasaruddin Umar mencoba mengupas kata ini, menurutnya, dari akar kata ini terbentuk kata ‘alam yang artinya tanda, petunjuk, atau bendera; dan ‘alamah yang bermakna alamat atau sesuatu yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).


lebih lanjut dikatakan bahwa, dalam perspektif tasawuf, alam adalah segala sesuatu selain Allah SWT (ma siwa Allah). Alam adalah tanda yang menunjuk kepada (adanya) Allah. Alam juga memberikan kesadaran dan pengetahuan. Alam meliputi seluruh universalitas (kulliyyat) alam dengan segenap bentuknya secara ijmali/undifferentiated.


Alam dalam format ilmu filsafat, dikenal dengan istilah al-’aql al-awwal (the first intellect). Dari sini, Allah sebagai al-Rahman dimanifestasikan. Di sisi lain, alam mencakup pula hakikat seluruh partikularitas (juziyyat) secara tafshili (differentiated) yang terkandung di dalam al-’aql al-awwal/the first intellect. Nama Allah sebagai Al-Rahim dimanifestasikan. Pendapat ini juga banyak diakomodasi di dalam kitab-kitab tafsir, terutama dalam menjelaskan perbedaan konteks antara al-Rahman dan al-Rahim dalam ayat pertama dan ketiga dari surah Al-Fatihah: Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (al-Rahman al-Rahim).


Seorang manusia yang menggabungkan kedua karakter alam di atas biasa disebut manusia paripurna (insan kamil), karena secara ijmal (undifferentiated) menjadi bagian dalam martabat ruh, dan secara tafshil (differentiated) bagian dalam martabat qalb. Insan kamil menjadi sebuah alam universal yang merepresentasikan keseluruhan nama-nama Allah. Ia sudah menjadi manivestasi (madzhar) nama-nama Allah.


Menurut pandangan perspektif tasawuf, alam tidak terbatas hanya dalam dua bentuk, yaitu dengan meminjam istilah Muhammad Abduh, ‘alam syahadah dan ‘alam gaib, tapi alam bisa tak berbatas. Sebab, berbicara tentang alam berarti  mencakup pula kehadiran Ilahiyah universal (al-hadharat al-kulliyyat/universal divine presences), yang di antaranya ada yang lebih dekat ke alam syahadah mutlak, dan lainnya lebih dekat ke alam gaib mutlak.


Alam sering juga digunakan dalam dua konteks, yaitu alam secara keseluruhan (semua kecuali Allah) dan alam dalam konteks tingkatan alam, seperti ‘alam al-mulk, ‘alam al-mitsal, ‘alam al-malakut, dan ‘alam jabarut. Masing-masing alam ini mempunyai penghuni. Manusia bisa mengakses dan sekaligus menjadi bagian dari alam-alam tersebut bersama dengan makhluk-makhluk spiritual lainnya seperti malaikat dan jin. Hal itu dapat dilakukan tentu saja jika manusia itu mampu menyingkap tabir rahasia yang selama ini menghijab dirinya.


Manusia, secara fitrahnya, di alam dunia ini berada di alam malakut dan dalam keadaan tertentu ia bisa mengalami transformasi spiritual ke alam-alam lain, tentu saja, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki atau diberikan kepadanya oleh Allah. Mengenai tingkatan-tingkatan alam ini lebih banyak digunakan dalam konteks kedua, yakni tingkatan alam spiritual.


Di dalam setiap tingkatan alam, Allah (Al-Haq) selalu mengindikasikan kehadiran-Nya, sehingga tidak ada suatu ruang, waktu, dan dimensi yang bebas dari cakupan Allah. Meskipun dikenal berbagai tingkatan, pada hakikatnya tetap hanya satu kehadiran, yakni kehadiran Ilahiyyah (al-hadharat al-Ilahiyyah).


Ketunggalan kehadiran Ilahiyyah termanifestasi di dalam apa yang disebut oleh para sufi dengan tauhid al-Dzat, tauhid al-Shifat, dan tauhid al-Af’al. Dalam konteks ini, Ibnu Arabi, salah seorang sufi yang berlatar belakang seorang filsuf, terlihat merasa kesulitan membedakan secara skematis antara alam dan Al-Haq.


Karena menurutnya, keseluruhan alam ini tak lain adalah madzhar, atau lokus manifestasi-Nya. Bagi Ibnu Arabi, bukan hal yang mustahil untuk berguru kepada para penghuni alam lain. Bahkan, manusia bisa langsung berkomunikasi dan berguru kepada Al-Haq.


Ibnu Arabi beralasan, Al-Haq adalah bagian inmanen dalam diri manusia sebagai alam mikrokosmos, bukannya Ia (Allah) transenden seperti banyak digambarkan oleh ulama fikih, Allahu a’lam. Secara sederhana, tingkatan alam yang akan menjadi objek pembahasan di sini ialah alam mulk, alam mitsal, alam malakut, dan alam jabarut.


Untuk berinteraksi dan saling memberi manfaat atau mengambil manfaat atau berguru kepada para penghuni alam-alam tersebut, pengenalan mendalam mengenai alam-alam itu perlu dilakukan. Sebab, bagaimana mungkin bisa mengakses sekaligus belajar kepada para penghuninya jika alamnya sendiri tak dipahami dengan baik. Setiap alam harus diketahui fenomena dan karakternya, dan insya Allah akan dibahas dalam artikel-artikel tersendiri.


Selain itu, hal yang paling penting adalah manusia sepatutnya mengenal dirinya sendiri dulu secara mendalam. Bagaimana mungkin kita bisa mengenal lebih jauh alam lain tanpa didahului mengenal diri sendiri atau alam di mana kita tinggal. Apalagi, rahasia Tuhan di dalam diri kita sungguh sangat besar.


oleh karena itu, sebelum menyingkap hijab-hijab yang ada di alam lain, yang harus disingkap lebih dulu adalah hijab yang ada dalam diri kita. Selanjutnya menyingkap hijab di alam kita, kemudian alam-alam lainnya. Terkait hal ini, pernyataan Rasulullah yang sering dikutip para sufi adalah Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barangsiapa yang memahami dirinya, ia dapat memahami Tuhannya).


Prof. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa, para ulama hadits menganggap pernyataan itu bukan hadits. Kalangan sufi seolah sudah mengonfirmasikan langsung kepada Rasulullah akan keberadaan hadits ini. Hadits ini berulang-ulang dikutip di dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali dan kitab-kitab karya Ibnu Arabi.


Dari hadits ini diketahui bahwa kompleksitas dan rahasia di dalam diri manusia berlapis-lapis. Setelah mengenal alam-alam spiritual dan rahasia besar yang ada di dalam diri manusia, langkah berikutnya adalah bagaimana melakukan upaya sungguh-sungguh untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Inilah langkah awal memulai untuk mendapatkan kemampuan menjelajah alam-alam spiritual.


Kedekatan ini menjadi prasyarat untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan Allah (Al-Haq). Diperlukan mursyid untuk membimbing kita agar jangan salah alamat dalam mencari dan menemukan objek yang dituju. Seseorang yang mulai memasuki dunia pencarian spiritual menempuh jalan khusus, itulah yang disebut murid atau salik.


lebih lanjut, kemudian, para murid itu akan menjalani berbagai latihan spiritual (riyadhah) secara konsisten sampai mereka menembus berbagai lapis alam dan menyingkap beragam hijab rahasia. Murid yang berhasil menembus batas dan menyingkap tabir disebut mukasyafah, yakni prestasi spiritual yang berhasil dicapai orang-orang yang terpilih oleh Allah. Semoga Allah memberi kemudahan kepada kita untuk mencapai harapan yang kita cita-citakanini. (Ubes Nur Islam dari berbagai sumber)

0 komentar:

Posting Komentar