Sebagian orang dari agama lain (non
muslim), atau ummat Islam sendiri yang masih ragu (awam) menganggap bahwa
ajaran islam yang mengharuskan shalat menghadap ka’bah itu sama pengagungan
terhadap batu hitam tersebut. Dan itu, tak ubahnya seperti ajaran para
penyembah berhala. Demikian ungkapan yang sering terucap oleh kaum mereka, baik
dari kaum penyembah berhala mapun mereka kaum majusi, zoroaster, ataupun kaum
atheisme.
Persoalan arah kiblat, sejak zaman
nabi Muhammad SAW dan hingga kini masih menjadi persoalan tersendiri bagi kaum
yang ingkar atau ragu terhadap ajaran Islam. Padahal sejak masa proses wahyu
turun pun fenomena masalah dan ketentuannya sudah jelas diterangkan oleh
Rasulullah sendiri sebagai pengemban amanah wahyu itu.
Ka’bah yang dijadikan sebagai qiblat
(arah menghadap) dalam shalat adalah sebuah ketentuan syariat yang ditetapkan
oleh pemilik syariat (Allah). Ini adalah kehendakNya yang harus ditaati,
sebagaimana Dia sebelumnya pernah berkehendak menjadikan masjidil Aqsha sebagi
kiblat umat islam.
Jadi, mengapa kita shalat menghadap ke
Ka’bah ? Jawabannya, ya karena Allah
memerintahkan seperti itu dalam syariatNya. Dan tentu yang paling tahu alasan
dari semua ketentuan syariat hanyalah Dia. Termasuk dalam masalah ini. Kita
sebagai hambaNya karena telah menyatakan keimanan atas kebenaran agama ini,
menyatakan berserah diri atas ketentuan hukum syari’atNya, tentunya wajib
mentaatinya. Dan orang-orang beriman akan senantiasa berkeyakinan, bahwa ada
hikmah yang agung dibalik setiap perintah atau larangan dalam syariat agama.
Pada
awalnya Rasulullah setiap shalat menghadap ke Baitil Maqdis, kemudian
Rasululullah mengingkan agar kiblat sholat ini ke arah Masjidil Haram, dimana
Ka’bah berada, lalu beliau memohon kepada Allah untuk dapat shalat menghadap ke
Ka’bah. Tentang hal ini Rasululullah sudah menjelaskannya secara rinci. Di
bawah ini tertuang bebarapa hadits yang terkait dengan fenomena dan konsekwensi
arah kiblat.
Dari
Anas bin Malik, katanya” Rasulullah saw bersabda,“Barangsiapa shalat seperti
kita, menghadap ke kiblat seperti kita, dan memakan binatang sembelihan seperti
kita, maka dialah orang muslim yang berada di bawah perlindungan Allah dan RasulNya, Karena itu
janganlah anda menghianati Allah perihal perlindunganNya itu.” (Bukhari).
Dari
Barrak bin ‘Azib r.a., katanya: “Rasulullah saw shalat menhadap ke Baitil
Maqdis, enam atau tujuh belas bulan lamanya. Sedang beliau ingin shalat menhadap
ke Ka’bah. Maka turun ayat: “Sesungguhnya Kami tahu engkau menghadapkan mukamu
ke langit berulang-ulang, maka setelah itu Nabi saw shalat menghadap ke Ka’bah.
Tetapi orang-orang bodoh, antara lain orang-orang Yahudi, berkata: “Apakah sebabnya mereka berpaling dari kiblat mereka
semula ?” Katakan hai Muhammad “Kepunyaan Allah Timur dan Barat, ditunjukiNya
kepada jalan yang lurus siapa-siapa yang dikehendakiNya.” Seorang laki-laki
shalat bersama Nabi saw waktu terjadinya perubahan kiblat itu. Setelah shalat dia pergi. Dia melewati
sekelompok oang Anshar sedang shalat
“Ashar, masih menghadap ke Baitil Maqdis. Lalu dikatakannya, bahwa tadi dia shalat
bersama Nabi saw menghadap ke Ka’bah. Karena itu mereka merubah arah kiblat
mereka dan menghadap ke Ka’bah. (Bukhari).
Dari
Abdullah bin Umar r.a., katanya:”Ketika orang-orang di Quba sedang shalat
subuh, tiba-tiba datang seorang mengatakan: “Sesungguhnya tadi malam Al Qur’an
turun kepada Rasululah saw. Beliau
diperintahkan shalat menghadap ke Ka’bah, Maka menghadap pulalah anda semua ke
Ka’bah. Lalu mereka yang ketika itu sedang shalat dengan menghadap ke Syam,
merubah arah mereka dengan menghadap ke Ka’bah.
“Dan
kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(QS. 2:115)
Orang-orang
yang kurang akalnya (safeh, orang ragu, orang lemah pemahamannya) di antara
manusia akan berkata :”Apakah yang memalingkan mereka (ummat Islam) dari
kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?”.
Katakanlah :
”Kepunyaan
Allah-lah Timur dan Barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS. 2:142)
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (QS. 2:143)
“Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan
Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar
dari Tuhan-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka
kerjakan”. (QS. 2:144)
“Dan
sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak
akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan
sebagian dari mereka pun tidak mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim”. (QS.
2:145)
“Orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal
Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya
sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui”.
(QS. 2:146)
“Kebenaran
itu adalah dari Tuhan-mu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu”. (QS. 2:147)
“Dan
bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah
kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Seungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. 2:148)
“Dan
dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil
Haram; Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang haq dari Tuhan-mu.
Dan Allah sekali-kali tidak lengah atas apa yang kamu kerjakan”. (QS. 2:149)
Itulah
beberapa ayat-ayat Allah yang integral dikupas dalam satu surat yang cukup
panjang dan hadits nabawi yang menjelaskan status hukum normatif, mengapa
Rasululullah dan ummat saat itu beralih arah kiblat. Kalau ditinjau dari Hadits
dan ayat-ayat tersebut di atas maka menghadap ke Ka’bah itu adalah ketetapan
Allah setelah Rasulullah memintanya bagi beliau dan umatnya.
Menghadap
Ka’bah bukan berarti kita menyembah Ka’bah, tetapi merupakan simbol yang
ditetapkan Allah bagi kiblat orang-orang Islam. Hal ini untuk membedakan kiblat
umat Muhammad dengan kiblat umat lain.
Namun
demikian, Allah maha bijaksana, seandainya kita berada di suatu tempat dan
tidak mengetahui arah Ka’bah maka menghadap kemanapun sah shalatnya karena
dimana saja disitu ada Wajah Allah. Menghadap ke Ka’bah adalah simbol
persatuan, dan untuk memudahkan kalau kita shalat khususnya shalat berjamaah.
Lebih jauh dari itu, baiklah kita
perlu merenungi fenomena di balik rahasia berbaliknya arah kiblat dari Baitil Maqdis
Palestina ke Ka’bah yang berada di Masjidil Haram Makkah. Bagi orang-orang
beriman akan senantiasa berkeyakinan, bahwa ada hikmah yang agung dibalik setiap
perintah atau larangan dalam syariat agama.
Hikmah inilah yang coba digali oleh setiap kita, termasuk dalam masalah kiblat
ini. Agar semakin tunduklah hati orang-orang beriman atas kebesaran dan
kebenaran risalah yang dibawa oleh para nabi, berupa risalah islam yang suci
ini.
Ka’bah sebagai tempat ibadah manusia
pertama
Hikmah Ka’bah dijadikan arah kiblat
ini terkait dengan sejarah islam dari sejak zaman nabi-nabi terdahulu. Yang
mana ka’bah merupakan bangunan pertama yang dipergunakan untuk ibadah di muka
bumi. Bahkan jauh sebelum manusia diciptakan di bumi, Allah telah mengutus para malaikat turun ke bumi
dan membangun rumah pertama tempat ibadah manusia. Ini sudah dituturkan dalam
Al-Quran:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah
Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi
semua manusia.” (Ali
Imran : 96).
Di zaman Nabi Nuh bangunan ka’bah pernah tenggelam dan runtuh
karena banjir, hingga datang masa kenabian Ibrahim dan Ismail.
Lalu Allah memerintahkan
keduanya untuk mendirikan kembali ka’bah di atas bekas pondasinya dahulu.
Sebagaimana firmanNya:
“Dan telah Kami perintahkan kepada
Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf,
yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (Al Baqarah : 125).
Lalu di masa Rasulullah, awal perintah
shalat mengadap ke arah
baitul Maqdis di Palestina. Namun Rasulullah sering
menengadahkan wajahnya ke langit berharap turunnya wahyu untuk memalingkan
qiblat ke Ka’bah. Hingga turunlah ayat : “Sungguh
Kami melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan
kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan
dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya
orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil
Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari
apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah : 144).
Melihat realitas sejarah, dalam urusan
menghadap Ka’bah, umat Islam punya latar belakang sejarah yang panjang.
Ka’bah merupakan bangunan yang pertama kali didirikan di atas bumi untuk
dijadikan tempat ibadah manusia pertama. Dan Allah telah menetapkan bahwa shalatnya
seorang muslim harus menghadap ke Ka’bah sebagai bagian dari aturan baku dalam
shalat. Hal ini adalah sesuatu yang memang diharapkan oleh Rasulullah, dan
boleh jadi Allah menetapkan
ka’bah sebagai kiblat, bukannya tempat lain, adalah karena Allah ingin menyenangkan hati kekasihNya.
Yahudi dan Nasrani adalah termasuk
diantara agama samawi, yakni suatu agama yang dahulunya juga bersumber dari
ajaran nabi-nabi. Yang mana pada ajaran keduanya, masih ada terkandung
sisa-sisa wahyu ilahi yang murni. Dan termasuk terkait dengan masalah kiblat
ini. Dalam Alkitab sendiri, jelas tertulis bahwa shalat (ibadah) itu harus menghadap
kiblat, berikut diantaranya :
- (Mazmur 5:8 ) : Tetapi aku, berkat
kasih setia-mu yang besar, aku akan masuk ke dalam rumah-mu, sujud menyembah ke
arah bait-mu yang kudus dengan takut akan engkau.
- (mazmur 138:2) : Aku hendak sujud ke
arah bait-mu yang kudus dan memuji nama-mu, oleh karena kasih-mu dan oleh
karena setia-mu; sebab kaubuat nama-mu dan janji-mu melebihi segala sesuatu.
- (yehezkiel 44:4) : Lalu dibawanya aku melalui pintu
gerbang utara ke depan bait suci; aku melihat, sungguh, rumah tuhan penuh
kemuliaan tuhan, maka aku sujud menyembah.
- (daniel 6:10) : Demi didengar daniel,
bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya. Dalam kamar
atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah yerusalem; tiga kali sehari ia
berlutut, berdoa serta memuji allahnya, seperti yang biasa dilakukannya.
Jadi awalnya, para penganut ajaran agama
Yahudi dan Nashrani pun, dimana posisi mereka yang berada di Palestina, dalam
melaksanakan ibadahnya mengarah ke Ka’bah sebagaimana dilakukan oleh nenek
moyang mereka, para nabi-nabi sebelumnya, entah mengapa pada akhirnya mereka
mengubah arah kiblatnya sendiri dalam kurun waktu ribuan tahun lamanya. Dengan adanya
keinginan Rasulullah SAW dan kerinduan beliau kepada para nabi-nabi terdahulu
sebagai nenek moyang yang lebih dahulu mengemban amanah kerisalahan nubuwah,
maka Rasululullah tak henti-hentinya berdo’a kepada Allah, agar arah kiblat
dikembalikan ke Ka’bah yang berada di di Masjidil Haram Makkah, dan alhamdu
lillah Ka’bah kembali sebagai pusat arah kiblat ibadah ummat Islam.
Ka'bah pusat dunia dan Islam
menghendaki persatuan
Kini kaum muslimin yang hendak
menunaikan ibadah shalat cukup satu arah kiblat, yaitu arah Ka’bah. Fenomena
awal, umat Islam zaman Rasul dan Sahabat, bisa jadi ada sebagian orang yang
ingin menghadap ke utara, sedangkan yang lainnya ingin menghadap ke selatan. Kemudian,
Rasulullah menghendaki, untuk menyatukan kaum muslimin dalam beribadah kepada
Allah, maka kini, kaum muslimin di mana
pun berada diperintahkan hanya menghadap ke satu arah, yaitu Ka'bah. Kaum
muslimin yang tinggal di sebelah barat Ka'bah, mereka salat menghadap timur.
Begitu pula yang tinggal di sebelah timur Ka'bah, mereka menghadap barat. Dan
inilah satu satunya agama yang memiliki Qiblat.
Menurut Dr Zakir Naik dari India, bahwa
dengan adanya arah kiblat ke Ka’bah, maka kaum muslimin inilah umat pertama
yang menggambar peta dunia. Mereka menggambar peta dengan selatan menunjuk ke
atas dan utara ke bawah. Ka'bah berada di pusatnya. Kemudian, para kartografer
Barat membuat peta terbalik dengan utara menghadap ke atas dan selatan ke
bawah. Meski begitu, alhamdulillah, Ka'bah terletak di tengah-tengah peta.
Subhanallah..! Lebih lanjut, ketika kaum muslimin pergi ke Masjidil Haram di
Mekah, mereka melakukan tawaf atau berkeliling Ka'bah. Perbuatan ini
melambangkan keimanan dan peribadahan kepada keesaan satu Tuhan. Sama persis
dengan lingkaran yang hanya punya satu pusat maka hanya Allah saja yang berhak
disembah.
Sebagai renungan terakhir pasal
ini, yakni menegaskan jawaban dari sebuah
pertanyaan dari kaum non muslim atau sebangsanya, yang katanya, Ibadah umat islam menghadap ka’bah serupa dengan
tatacara menyembah berhala ?
Pernyataan ini tentu saja
sangat keliru besar. Orang yang tidak beriman sekalipun, asalkan ia mau
menggunakan akal yang waras, pasti tidak akan menerima pernyataan seperti ini.
Karena hal ini bukan hanya bertentangan dengan fakta dan realita, juga
bertentangan dengan cara berfikir yang sehat. Secara bahasa saja, menghadap tidaklah sama dengan menyembah, itu dua hal yang jelas
sangat berbeda.
Bagaimana mungkin hendak
disamakan umat islam yang menjadikan ‘batu’ sebagai arah menghadap, dengan para
paganis yang menjadikan batu sebagai sesembahan ? Apakah hendak disamakan
sekelompok orang yang menjadikan bangunan yang memiliki latar belakang sejarah
sebagai pemersatu dengan sekelompok lainnya yang mengharapkan pertolongan dari
makhluk / batu ?
Lagi pula, tidak ada yang
istimewa dari ka’bah kecuali keistimewaan yang memang diberikan oleh syariat,
seperti ia adalah bangunan dan tempat
yang diberkahi. Allah bahkan
telah menegaskan:
Subhanallah.. Alhamdulillah kalau kita sedang shalat, kita menghadapnya ke kakbah. O iya, kalao kita dalam perjalanan, bagaiaman cara sholat dalam perjalanan?
BalasHapusTerima kasih ya. Semoga Allah melipat ganda kan pahala orang yang menyebarkan ilmu ini. Amin
BalasHapus