Dalam
pandangan sebagian ulama Tasawwuf, dipandang bahwa perkawinan memiliki tujuan
yang amat luar biasa. Imam al-Ghazali, di dalam kitabnya al-Ihya’ Ulumuddin
menyebutkan, setidaknya terdapat 5 tujuan utama dari ibadah munakahat
(perkawinan) ini, yaitu :
1) Dapat menghasilkan keturunan supaya dunia ini tidak kepupusan makhluk dari bangsa manusia. Dan seterusnya anak tersebut dapat berdoa untuk kedua ibu bapanya setelah kematian mereka.
2)
Menghilangkan tekanan syahwat seks terhadap wanita yang sentiasa datang
mengganggu di dalam ibadatnya. Tekanan ini juga akan membawa kepada zina mata
atau zina faraj. Dengan perkahwinan seseorang itu dapat memelihara diri dari
syaitan yang akan membawa ke arah perkara-perkara yang haram.
3)
Membereskan gangguan hati dalam masalah urusan rumahtangga seperti memasak,
mengemas, membasuh dan lain-lain. Dengan ini, masanya tidak banyak terbuang
hanya untuk urusan tersebut sahaja.
4)
Dengan pergaulan dan percampuran suami isteri dapat menggembirakan serta
menjinakkan hati dan perasaan. Di mana perkara ini akan mendorong dan
menguatkan hatinya untuk rajin melakukan ibadat.
5)
Dapat bermujahadah melawan hawa nafsu di dalam kehidupan berumahtangga,
antaranya ialah: Dengan menunaikan hak-hak yang diwajibkan terhadap isteri, Bersabar
terhadap tingkah laku isteri yang tidak secocok dengannya, Berusaha untuk
memperelok akhlak anak dan isterinya serta memberi tunjuk ajar kepada mereka ke
jalan agama, Berusaha bersungguh-sungguh mendapatkan rezeki yang halal untuk
menyara anak dan isteri, dan Mendidik anak-anak supaya menjadi insan yang
berguna.
Memang harus diakui, jika manusia mau jujur, ternyata dalam pernikahan ini banyak temuan, bahwa banyak karunia dan nikmat yang tidak bisa didapat kecuali ibadah munkahat ini. Bahkan, seandainya perkawinan ini terlewatkan, dalam arti tidak direalisasikan dalam kehidupan nyata, kemungkinan kepincangan kepribadian karakter dipastikan akan nampak berbeda, baik secara individual maupun sosial.
Firman Allah s.w.t. di dalam surah al-Rum ayat 21:
Di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia (Allah) menciptakan pasangan-pasangan (jodoh) bagi kamu dari (makhluk) jenis kamu sendiri, agar kamu cenderung kepadanya dan merasa tenteram dengannya. Kemudian Allah menciptakan rasa kasih sayang di antara kamu. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang berfikir. (QS. al-Rum ayat 21)
Di dalam firman Allah s.w.t. di atas sangat jelas dan nyata sekali akan tujuan sebuah perkahwinan, yaitu: a) membina kehidupan rumahtangga yang bahagia, aman dan damai. b) Untuk mencapai kesatuan jiwa. Mereka sanggup bersama sehidup semati dalam meredah liku-liku dan pancaroba hidup. dan c) Manakala setiap kesenangan dan kebahagiaan yang diperolehi akan sama-sama dikecapi. Hidup saling cinta menyintai, berkasih sayang dan percaya mempercayai.
lebih jauh lagi patut kita amati, apa tujuan pernikahan itu sendiri. Menurut analisa seorang ulama moderat yang amat cerdas ini yaitu, Syeikh Muhamad Ali Qutb melalui bukunya, Tuhfatul Aris wal Arus, bahwa dari ayat tersebut (QS. al-Rum ayat 21) ditemukan tiga hal pengajaran dan hikmah yang terkandung dalam tujuan pernikahan itu, ialah antara lain sebagai berikut.
Pengajaran pertama:
Ketenteraman jiwa dari belenggu kemahuan nafsu dalam kehidupan suami isteri merupakan perkara yang asasi. Ketenteraman yang dimaksudkan di dalam ayat di atas terlalu luas pengertiannya, bukan hanya sekadar ketenteraman nafsu syahwat sahaja. bahkan merupakan suatu kelegaan dan keselesaan dari keresahan, kegelisahan, kesunyian dan kekosongan. Atau dengan makna yang lebih tepat ialah ketenteraman rohani dan ketenangan batin.
Antara bukti yang nyata sekali ialah zuriat yang dikurniakan oleh Allah s.w.t. terhadap pasangan suami isteri. Ianya banyak mengisi kekosongan ruang yang sedia ada dalam jiwa pasangan ini. Malahan setiap manusia akan merasa kesunyian dan keresahan tanpa zuriat. Dengan mengendalikan perkara pertama ini dengan berpayungkan al-Quran dan al-Sunah, kebahagiaan dan keharmonian rumahtangga akan sentiasa berada di samping mereka. Sebaliknya, melakukan zina samada dengan perempuan simpanan atau pelacur tidak ke mana arah tujunya. Hanya sekadar mahu mendapat sedikit dari kelazatan hidup.
Pengajaran kedua:
Rasa cinta yang berbalas. Iaitu yang lahir dari perlakuan antara satu sama lain, dan lahir pula dalam kerjasama serta saling bantu membantu antara suami isteri dan antara keluarganya masing-masing. Dengan semangat kerjasama antara suami dan isteri, begitu juga antara ibubapa dan anak-anak, di mana kesusahan mereka pikul bersama untuk menanggungnya, manakala mendapat kebahagiaan mereka sama-sama mengecapinya, maka darinya akan lahirlah apa yang dinamakan dengan cinta berbalas.
Pengajaran ketiga:
Rasa kasih sayang, di mana kehidupan manusia akan dirasakan terlalu pincang tanpa perasaan ini. Kasih sayang sebagai ibu, ayah, suami, isteri dan anak.
Tujuan nikah dalam agama Islam disebutkan dalam surat Ar Rum : 21, yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, keluarga yang merasakan kebahagian lahir dan bathin, keluarga yang sakinah dan sejahtera. Keluarga bahagia adalah keluarga yang diliputi suasana damai, aman, tenteram, tertib, saling pengertian, tolong-menolong antar anggota keluarga melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing. Firman Allah SWT.Artinya :
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS
Ar Rum : 21)
Jadi,
salah satu dari tanda kekuasaan Allah ialah menciptakan istri-istri dengan
perkawinan agar merasakan ketentraman hidup dan penuh kasih sayang diantara
suami istri. Suami ataupun istri masing-masing mempunyai tugas dan tanggung
jawab untuk kebahagian rumah tangganya. Misalnya, suami sebagai kepala rumah
tangga bertanggung jawab penuh terhadap anak dan istrinya dengan memberi
nafkah, sesuai dengan kemampuannya.
Suami
memimpin, membimbing serta menjaga atas keselamatan dan kesehatan
keluarganya.Istri bertanggung jawab dalam mendidik anak-anak, istri harus taat
dan patuh kepada semua perintah suaminya, selama perintah tersebut sesuai
dengan ajaran Islam. Istri rela menerima pemberian suaminya, hemat tidak boros,
serta menjaga kehormatan dirinya. Begitu pula sebagai anak sebagai anggota
keluarga, harus taat dan patuh menjalankan agama, berbakti kepada orang tua,
berakhlak mulia, rajin beribadah dan belajar sehingga menjadi anak yang shlaeh
berguna bagi agama, nusa, bangsa dan negara. Kaum Pria diperintahkan oleh Allah
SWT supaya selalu berdoa untuk kebahagian keluarga, istri dan anak yang
menyenangkan hati. Hal tersebut dijelaskan dalam surat Al Furqan ayat
74.Artinya :
“Dan
orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al Furqan : 74)
Rumah
merupakan satu-satunya tempat tinggal di sebuah keluarga. Di rumah itu, mereka
dapat menikmati bersama pada saat senang, tempat istirahat bersama, tempat
tidur, berteduh, makan-minum, tempat meminta pada saat membutuhkan, tempat
hiburan pada saat susah, tempat beribadah seluruh anggota keluarga dan
sebagainya. Agar tujuan nikah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sakinah
itu dapat tercapai maka dalam memilih calon istri yang beragama dan berakhlak
mulia, selalu beramal shaleh, taat kepada Allah dan suaminya. Sabda rasulullah
SAW yang artinya :
”Dari
Jabir sesungguhnya Nabi SAW bersabda, Sesungguhnya peremouan itu dinikahi orang
karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya maka pilihlah yang beragama.”
(HR Muslim dan Turmudzi)
Dalam
hadis yang lain disebutkan yang artinya barang siapa menikahi seorang perempuan
karena harta dan kecantikannya, niscaya Allah akan melenyapkan harta dan
kecantikannya. Dan barang siap yang menikahi karena kebangsawanannya, niscaya
Allah tidak kan menambah kecuali kehinaan. (Ubes/dari berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar