Dalam Islam, peran domestik kaum istri memiliki kedudukan yang
sangat mulia. Namun musuh-musuh Islam terus berusaha meruntuhkan sendi dasar
rumah tangga ini dengan menggalang berbagai opini menyesatkan. “Pemberdayaan
perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagian
propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak wanita-wanita Islam. Islam,
oleh musuh-musuhnya, dituding sebagai ajaran yang tidak sensitif gender.
Posisi wanita dalam Islam, menurut mereka, selalu termarginalkan
atau terpinggirkan dalam lingkungan yang didominasi dan dikuasai laki-laki.
Permasalahan yang sering ‘diserang’ kaum feminis dan aktivis perempuan anti
Islam adalah peran istri/ ibu dalam mengurusi tugas-tugas kerumahtanggaan. Oleh
mereka, peran ibu yang hanya mengurusi tugas-tugas domestik hanya akan
menciptakan ketidakberdayaan sekaligus ketergantungan istri terhadap suaminya.
Juga dikesankan bahwa wanita yang hanya tinggal di rumah adalah
pengangguran dan menyia-nyiakan setengah dari potensi masyarakat. Propaganda
ini didukung oleh opini negatif yang berkembang di masyarakat di mana wanita
selama ini tak lebih dari sekedar “konco wingking”, wanita tak lepas dari
“dapur, kasur, dan sumur”, “masak, macak, manak“, dan sebagainya. Oleh karena
itu, agar wanita bisa “maju”, para wanita harus direposisi dalam ruang publik
yang seluas-luasnya.
Gerakan ini gencar dilancarkan musuh-musuh Islam karena mereka
sangat paham bagaimana merusak Islam dengan menjadikan wanita muslimah sebagai
sasaran bidik. Dengan semakin jauhnya kaum wanita dari rumah, mereka berharap
pintu-pintu kerusakan akan semakin terbuka lebar. Lebih jauh, jika wanitanya
telah rusak, maka tatanan masyarakat Islam akan rusak pula. Rumahmu Istanamu
Seorang wanita perlu mengetahui bahwa tempat asalnya berdiam adalah dalam
rumahnya, dan rumah ini pula yang menjadi tempatnya bekerja.
Dalil-dalil dari syariat yang mulia telah menetapkan dan
mempersaksikan tentang hal ini, di antaranya: - Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman kepada Ummahatul Mukminin: “Dan tetaplah kalian tinggal di
rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)
Makna ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah
perintah untuk selalu menetap dalam rumah. Walaupun sasaran pembicaraan dalam
ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun
secara makna wanita selain mereka juga termasuk di dalam perintah ini.
(Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 14/117).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Janganlah kalian
mengeluarkan mereka (istri-istri yang telah ditalak) dari rumah-rumah mereka
dan janganlah mereka keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Walaupun ayat di atas berkenaan dengan wanita/ istri yang tengah
menjalani masa ‘iddah, namun kata ulama, hukumnya tidaklah khusus bagi mereka
namun juga berlaku bagi wanita yang lain. (Daurul Mar’ah fi Tarbiyatul Usrah,
Asy-Syaikh Shalih bin Abdillah Alu Fauzan, hal. 1www.alfauzan.net) .
Pelajaran dari kisah antara Nabi Musa ‘alaihissalam dengan dua
orang wanita di Madyan, yang Allah kisahkan kepada kita dalam Tanzil-Nya:
“Tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, di sana ia menjumpai
sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternak mereka dan ia menjumpai di
belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat ternaknya.
Musa berkata: ‘Apa maksud kalian berbuat begini, kenapa kalian tidak ikut
meminumkan ternak kalian bersama mereka?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami
tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu
memulangkan ternak mereka, sedangkan ayah kami1 telah berusia lanjut.’ Maka
Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya, kemudian ia kembali ke
tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan
suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu
sembari berjalan dengan malu-malu, ia berkata: ‘Ayahku memanggilmu untuk
membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi
ayahnya, ia menceritakan kisah dirinya. Syu’aib pun berkata: ‘Janganlah takut,
engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu (Fir’aun dan
pengikutnya).’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang
yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya’.” (Al-Qashash: 23-26)
Karena sifat wara dan takwa yang ada pada keduanya, kedua wanita
ini enggan untuk bercampur (ikhtilath) dengan para penggembala tersebut. Adapun
keduanya keluar rumah untuk memberi minum ternaknya adalah karena darurat, di
mana sang ayah telah berusia senja sehingga tak mampu lagi mengurus ternak yang
ada. Perjumpaan dengan Nabi Musa ‘alaihissalam membuahkan gagasan di benak
salah seorang dari wanita tersebut bahwa telah tiba saatnya untuk mengembalikan
perkara pada tempat yang semestinya, ia pun berkata kepada sang ayah: “Wahai
ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya.” Sang ayah pun menyambut usulan putrinya,
kemudian berkata kepada Nabi Musa: “Berkatalah sang ayah: ‘Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar
engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, aku tidaklah hendak memberatkanmu.
Dan engkau Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’.”
(Al-Qashash: 27) [Daurul Mar’ah, hal. 1]
Shalat di masjid sebagai satu amalan yang utama disyariatkan
kepada kaum lelaki, banyak pahala akan diraih terlebih bila shalat itu
dilakukan di Masjid Nabawi. Namun ternyata bersamaan dengan itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kaum wanita untuk shalat di rumah
mereka. Ketika istri Abu Humaid As-Sa’idi datang kepada beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya menyatakan: “Wahai Rasulullah, aku senang shalat
berjamaah bersamamu.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sungguh aku tahu
engkau senang shalat jamaah denganku, namun shalatmu di ruang yang khusus yang
ada di rumahmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu, shalatmu di
kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik
daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik
daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad, 6/371, dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Bila seorang wanita tetap tinggal di rumahnya, ia akan bisa
menunaikan tugas-tugas dalam rumahnya, memenuhi hak-hak suaminya, mendidik
anak-anaknya dan membekali dirinya dengan kebaikan. Sementara bila seorang
wanita sering keluar rumah, ia akan menyia-nyiakan sekian banyak kewajiban yang
dibebankan kepadanya. (Nashihati Lin Nisa’, Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah, hal.
101)
Keluar rumah saat ada hajat Dari penjelasan di atas, janganlah
dipahami bahwa wanita dilarang secara mutlak untuk keluar dari rumahnya. Bahkan
terdapat keterangan dari syariat tentang kebolehan wanita keluar dari rumahnya
saat ada kebutuhan dan karena darurat.
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah: “Suatu malam, Saudah bintu
Zam’ah radhiallahu ‘anha keluar dari rumahnya untuk membuang hajat. Ketika itu
‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu melihatnya dan mengenalinya. ‘Umar pun
berkata: “Engkau Saudah, demi Allah, tidak tersembunyi bagi kami.” Saudah pun
kembali menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia ceritakan kejadian
tersebut kepada beliau. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
makan malam di rumahku. Dalam keadaan tangan beliau sedang memegang tulang yang
padanya ada sisa daging, turunlah wahyu, beliau pun berkata: “Allah telah
mengizinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (HR.
Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi tuntunan kepada
para suami untuk tidak melarang istri mereka shalat di masjid, bila si istri
minta izin padanya: “Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke
masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no.
442)
Dan beliau menyatakan: “Janganlah kalian mencegah hamba-hamba
perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim
no. 442)
Dari sejarah para shahabiyyah, kita mengetahui ada di antara
mereka yang keluar menyertai mahram mereka ke medan jihad untuk memberi minum
kepada mujahidin dan mengobati orang yang luka. Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berperang
bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita dari kalangan Anshar ikut bersama
beliau ketika beliau berperang. Mereka memberi minum dan mengobati mujahidin
yang terluka.” (HR. Muslim no. 1810)
Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anhu bertutur: “Aku pernah berperang
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh kali peperangan,
aku menjaga dan mengurus tunggangan-tunggangan mereka (mujahidin), membuatkan
makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka dan merawat orang sakit.” (HR.
Muslim no. 1812)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bila hendak
safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya untuk menentukan siapa di
antara mereka yang akan menyertai beliau dalam safarnya. Keluarnya wanita dari
rumahnya ini merupakan pengecualian dari hukum asal2 dan disebabkan kepentingan
yang darurat dengan memperhatikan dan menjaga adab-adab ketika keluar rumah
seperti berhijab dan sebagainya, dan juga tidak ada fitnah dan kerusakan yang
akan timbul saat ia keluar rumah.
Adapun bila wanita keluar rumah untuk bekerja karena memperhatikan
bualan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu syaithaniyyah bahwasanya bila
wanita tetap tinggal di rumahnya ia akan menjadi pengangguran, maka hal ini
tidaklah dibolehkan oleh syariat yang agung dan sempurna ini. Bila sampai
wanita keluar dari rumahnya karena memenuhi ajakan manis nan berbisa dari
pengikut hawa nafsu tersebut maka akan terjadilah kerusakan yang besar di
tengah masyarakat dan sendi-sendi keluarga pun akan hancur.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata:
“Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus
agar keduanya dapat menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan
masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan
penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan
kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai
baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, merawat
dan mengobati mereka dan pekerjaan yang semisalnya yang khusus bagi wanita.
Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia
menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya.
Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik secara hakiki
maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fi Maidanil ‘Amal,
hal. 5)
Arti wanita dalam keluarga Keberadaan seorang wanita sebagai istri
dan ibu dalam keluarga memiliki arti yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan
dia merupakan satu tiang yang menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk
pemeran utama dalam mencetak “orang-orang besar.” Sehingga tepat sekali bila
dikatakan: “Di balik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan
mendidiknya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
menyatakan: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama:
Perbaikan secara dzahir, yang dilakukan di pasar-pasar, di masjid-masjid dan
selainnya dari perkara-perkara yang dzahir. Ini didominasi oleh lelaki, karena
merekalah yang biasa tampil di depan umum. Kedua: Perbaikan masyarakat yang
dilakukan dari balik dinding/ tembok.
Perbaikan seperti ini dilakukan di rumah-rumah dan secara umum hal
ini diserahkan kepada kaum wanita. Karena wanita adalah pengatur dalam rumahnya
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang ditujukan ketika itu
kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tetaplah kalian tinggal
di rumah-rumah kalian dan jangan kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya
orang-orang jahiliyyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk
menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait dan mensucikan kalian dengan
sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Kami yakin setelah ini bahwasanya tidak salah bila kami katakan
perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritasnya tergantung pada
wanita dikarenakan dua sebab berikut ini:
Pertama: Kaum wanita itu jumlahnya sama dengan kaum lelaki bahkan
lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagaimana hal ini
ditunjukkan oleh As-Sunnah An-Nabawiyyah. Akan tetapi hal ini tentunya berbeda
antara satu negeri dengan negeri lain, satu zaman dengan zaman lain. Terkadang
di satu negeri jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki dan
terkadang di negeri lain justru sebaliknya. Sebagaimana di satu masa kaum
wanita lebih banyak daripada laki-laki namun di masa lainnya justru sebaliknya,
laki-laki lebih dominan. Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang besar
dalam memperbaiki masyarakat.
Kedua: Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada
dalam asuhan wanita. Dengan ini jelaslah tentang kewajiban wanita dalam
memperbaiki masyarakat.” (Daurul Mar’ah fi Ishlahil Mujtama’, Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah)
Bila demikian keadaannya, apakah bisa diterima ucapan yang
mengatakan bahwa wanita yang bekerja dalam rumahnya, berkhidmat pada
keluarganya adalah pengangguran? Manakah yang hakekatnya lebih utama, lebih
berhasil dan lebih bahagia, wanita yang tinggal di rumahnya, menjaga diri dan
kehormatannya, melayani suami hingga keluarganya menjadi keluarga yang sakinah,
penuh cinta dan kasih sayang, dan ia mengasuh anak-anaknya hingga tumbuh
menjadi anak-anak yang berbakti dan berguna bagi masyarakatnya, ataukah seorang
wanita yang sibuk mengejar karier di kantor bersaing dengan para lelaki,
bercampur baur dengan mereka, sementara suami dan anak-anaknya ia serahkan
pengurusannya kepada orang lain? Manakah yang lebih merasakan ketentraman dan
ketenangan? Hendaklah dipahami oleh para wanita bahwa pekerjaan berkhidmat pada
keluarga merupakan satu ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pekerjaan di
dalam rumahnya bukanlah semata-mata gerak tubuhnya, namun pekerjaan itu
memiliki ruh yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti tujuan kehidupan dan
rahasia terwujudnya insan. (Daurul Mar’ah, hal. 3)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Apabila
seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, ia
menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya maka ia akan masuk surga dari
pintu surga mana saja ia inginkan”. (HR. Ahmad, 1/191. Dalam Adabuz Zifaf, hal.
182, Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini hasan atau shahih, ia memiliki
banyak jalan.”)
Surga sebagai tempat yang sarat dengan kenikmatan yang kekal abadi
dapat dimasuki seorang wanita yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada
Allah, menjaga kehormatan dirinya dan taat kepada suaminya, dan tentunya semua
ini dilakukan oleh seorang wanita di dalam rumahnya. Pekerjaan wanita di dalam
rumah Beberapa pekerjaan yang bisa dilakukan wanita di dalam rumahnya, seperti: Pertama: ibadah kepada Allah. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali
untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ummahatul Mukminin
untuk berdiam di rumah mereka, Allah gandengkan perintah tersebut dengan
perintah beribadah. “Dan tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah
bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang terdahulu, tegaklah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Ahzab:
33)
Dengan menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ini,
akan sangat membantu seorang wanita untuk melaksanakan perannya dalam rumah
tangga. Dan dengan ia melaksanakan ibadah disertai kekhusyuan dan ketenangan
yang sempurna akan memberi dampak positif kepada orang-orang yang ada di dalam
rumahnya, baik itu anak-anaknya ataupun selain mereka. Kedua: Wanita berperan
memberikan sakan (ketenangan dan ketenteraman) bagi suami dan juga bagi
rumahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan (istri) dari
diri-diri kalian agar kalian merasakan ketenangan padanya dan Dia menjadikan di
antara kalian mawaddah dan rahmah…” (Ar-Rum: 21)
Seorang wanita tidak bisa menjadi sakan bagi suaminya sampai dia
memahami hak dan kedudukan suami, kemudian ia melaksanakan hak-hak tersebut
dalam rangka taat kepada Allah dengan penuh kesenangan dan keridhaan. Seorang
wanita perlu mengetahui tentang besarnya hak suami terhadapnya, sampai-sampai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya aku boleh
memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan
seorang istri untuk sujud kepada suami.” (HR. Ahmad, 4/381. Dihasankan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa-ul Ghalil no. 1998)
Ketika suaminya telah meninggal pun ia diperintah untuk menahan
dirinya dari berhias (ber-ihdad) selama 4 bulan 10 hari. “Tidak halal bagi
seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad atas
mayit lebih dari tiga hari, kecuali bila yang meninggal itu adalah suaminya
maka ia berihdad selama 4 bulan 10 hari.” (HR. Muslim no. 1486)
Seorang wanita bisa menjadi sakan bagi rumahnya bila ia menegakkan
beberapa hal berikut ini: Taat secara sempurna kepada suaminya dalam perkara
yang bukan maksiat kepada Allah Taat ini merupakan asas ketenangan karena suami
sebagai qawwam (pemimpin) tidak akan bisa melaksanakan kepemimpinannya tanpa
ketaatan. Dan ketaatan kepada suami ini lebih didahulukan daripada melakukan
ibadah-ibadah sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh
seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah
mendapatkan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman, demikian diterangkan
dengan jelas oleh orang-orang dalam madzhab kami.” (Syarah Shahih Muslim,
7/115). Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam
Fathul Bari (9/356).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga memberikan alasan dalam hal
ini: “Sebabnya adalah suami memiliki hak untuk istimta’ (bermesraan) dengan si
istri sepanjang hari, haknya dalam hal ini wajib untuk segera ditunaikan
sehingga jangan sampai hak ini luput ditunaikan karena si istri sedang
melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda.” (Syarah
Shahih Muslim, 7/115)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Hadits ini
menunjukkan bahwa lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami
daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah, karena hak suami itu wajib
sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang
sunnah.” (Fathul Bari, 9/356)
“Wajib bagi wanita/ istri untuk taat kepada suaminya dalam perkara
yang ia perintahkan dalam batasan kemampuannya, karena hal ini termasuk
keutamaan yang Allah berikan kepada kaum lelaki di atas kaum wanita,
sebagaimana dalam ayat: “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” dan
ayat: “Dan bagi kaum lelaki kedudukannya satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan
dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan
bila ia mentaati suaminya atau mendurhakainya, demikian dikatakan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 175-176.
Mengerjakan pekerjaan rumah yang dibutuhkan dalam kehidupan
keluarga seperti memasak, menjaga kebersihan, mencuci dan semisalnya. Seorang
wanita semestinya melakukan tugas-tugas di atas dengan penuh kerelaan dan
kelapangan hati dan kesadaran bahwa hal itu merupakan ibadah kepada Allah.
Telah lewat teladan dari para sahabat dalam masalah ini.
Mungkin kita masih ingat bagaimana kisah Fathimah bintu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggiling gandum sendiri untuk membuat kue
hingga membekaskan kapalan pada kedua tangannya. Ketika akhirnya ia meminta
pembantu kepada ayahnya untuk meringankan pekerjaannya maka sang ayah yang
mulia memberikan yang lebih baik bagi putri terkasih. “Maukah aku tunjukkan
yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Bila kalian
berdua hendak berbaring di tempat tidur kalian, bertakbirlah 34 kali,
bertahmidlah 33 kali dan bertasbihlah 33 kali. Maka yang demikian itu lebih
baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” (HR. Al-Bukhari no. 3113 dan
Muslim no. 2727)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengingkari
khidmat yang dilakukan putrinya dengan penuh kepayahan, padahal putrinya adalah
wanita yang utama dan mulia. Bahkan beliau mengakui khidmat tersebut dan
memberi hiburan kepada putrinya dengan perkara ibadah yang lebih baik daripada
seorang pembantu.
Menjaga rahasia suami dan kehormatannya sehingga menumbuhkan
kepercayaan suami secara penuh terhadapnya. Menjaga harta suami. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik wanita penunggang unta,
wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika
kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya.” (HR.
Al-Bukhari no. 5082 dan Muslim no. 2527).
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: adalah wanita itu
sangat menjaga dan memelihara harta suami dengan berbuat amanah dan tidak boros
dalam membelanjakannya. (Fathul Bari, 9/152) Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang (dari seorang
ibu), tarbiyah yang baik, mengurusi anak-anak, menjaga harta suami, mengurusi
dan mengaturnya dengan cara yang baik.” (Fathul Bari, 9/152) 5.
Bergaul dengan suami dengan cara yang baik. Dengan memaafkan
kesalahan suami bila ia bersalah, membuatnya ridha ketika ia marah, menunjukkan
rasa cinta kepadanya dan penghargaan, mengucapkan kata-kata yang baik dan wajah
yang selalu penuh senyuman. Juga memperhatikan makanan, minuman dan pakaian
suami.
Mengatur waktu sehingga semua pekerjaan tertunaikan pada waktunya,
menjaga kebersihan dan keteraturan rumah sehingga selalu tampak rapi hingga
menyenangkan pandangan suami dan membuat anak-anak pun betah.
Jujur terhadap suami dalam segala sesuatu, khususnya ketika ada
sesuatu yang terjadi sementara suami berada di luar rumah. Jauhi sifat dusta
karena hal ini akan menghilangkan kepercayaan suami. Ketiga: mendidik anak-anak
(tarbiyatul aulad) Tugas ini termasuk tugas terpenting seorang wanita di dalam
rumahnya, karena dengan memperhatikan pendidikan anak-anaknya berarti ia
mempersiapkan sebuah generasi yang baik dan diridhai oleh Rabbul Alamin.
Dan tanggung jawab ini ia tunaikan bersama-sama dengan suaminya
karena setiap mereka adalah mas’ul yang akan ditanya tentang tanggung jawabnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah
diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adhaah
manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Keempat: mengerjakan
pekerjaan lain di dalam rumah bila ada kelapangan waktu dan kesempatan, seperti
menjahit pakaian untuk keluarga dan selainnya. Dengan cara ini ia bisa berhemat
untuk keluarganya di samping membantu suami menambah penghasilan keluarga. Apa
yang disebutkan di atas dari tugas seorang wanita merupakan tugas yang berat
namun akan bisa ditunaikan dengan baik oleh seorang wanita yang shalihah yang
membekali dirinya dengan ilmu agama, ditambah bekal pengetahuan yang diperlukan
untuk mendukung tugasnya di dalam rumah. Adapun bila wanita itu tidak shalihah,
jahil lagi bodoh maka di tangannya akan tersia-siakan tugas yang mulia
tersebut. Wallahu ta’ala a’lam.
catatan: 1 Adapun penyebutan bahwa nama ayah kedua wanita tersebut
adalah Nabi Syu’aib, hal ini tidak tsabit (tidak benar). Hal ini diterangkan
oleh Ibnu Katisr dalam Tafsir-nya (3/467), menukil perkataan Ibnu Jarir: “Yang
benar bahwa hal seperti ini tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya kabar/
atsar, dan tidak ada atsar (berita) yang dapat menjadi pegangan dalam hal ini.”
(ed) 2 Yaitu wanita harus tinggal dalam rumahnya dan melakukan pekerjaan di
dalam rumah.(Admin, dilansir dari Yayasan Harum)