This is default featured slide 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

This is default featured slide 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam. blogger theme by BTemplates4u.com.

Senin, 08 Desember 2014

PERANAN WANITA MUSLIMAH MASA KINI




Dalam Islam, peran domestik kaum istri memiliki kedudukan yang sangat mulia. Namun musuh-musuh Islam terus berusaha meruntuhkan sendi dasar rumah tangga ini dengan menggalang berbagai opini menyesatkan. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagian propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak wanita-wanita Islam. Islam, oleh musuh-musuhnya, dituding sebagai ajaran yang tidak sensitif gender.

Posisi wanita dalam Islam, menurut mereka, selalu termarginalkan atau terpinggirkan dalam lingkungan yang didominasi dan dikuasai laki-laki. Permasalahan yang sering ‘diserang’ kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam adalah peran istri/ ibu dalam mengurusi tugas-tugas kerumahtanggaan. Oleh mereka, peran ibu yang hanya mengurusi tugas-tugas domestik hanya akan menciptakan ketidakberdayaan sekaligus ketergantungan istri terhadap suaminya.

Juga dikesankan bahwa wanita yang hanya tinggal di rumah adalah pengangguran dan menyia-nyiakan setengah dari potensi masyarakat. Propaganda ini didukung oleh opini negatif yang berkembang di masyarakat di mana wanita selama ini tak lebih dari sekedar “konco wingking”, wanita tak lepas dari “dapur, kasur, dan sumur”, “masak, macak, manak“, dan sebagainya. Oleh karena itu, agar wanita bisa “maju”, para wanita harus direposisi dalam ruang publik yang seluas-luasnya.

Gerakan ini gencar dilancarkan musuh-musuh Islam karena mereka sangat paham bagaimana merusak Islam dengan menjadikan wanita muslimah sebagai sasaran bidik. Dengan semakin jauhnya kaum wanita dari rumah, mereka berharap pintu-pintu kerusakan akan semakin terbuka lebar. Lebih jauh, jika wanitanya telah rusak, maka tatanan masyarakat Islam akan rusak pula. Rumahmu Istanamu Seorang wanita perlu mengetahui bahwa tempat asalnya berdiam adalah dalam rumahnya, dan rumah ini pula yang menjadi tempatnya bekerja.

Dalil-dalil dari syariat yang mulia telah menetapkan dan mempersaksikan tentang hal ini, di antaranya: - Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Ummahatul Mukminin: “Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)

Makna ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah perintah untuk selalu menetap dalam rumah. Walaupun sasaran pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun secara makna wanita selain mereka juga termasuk di dalam perintah ini. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 14/117).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri yang telah ditalak) dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar.” (Ath-Thalaq: 1)

Walaupun ayat di atas berkenaan dengan wanita/ istri yang tengah menjalani masa ‘iddah, namun kata ulama, hukumnya tidaklah khusus bagi mereka namun juga berlaku bagi wanita yang lain. (Daurul Mar’ah fi Tarbiyatul Usrah, Asy-Syaikh Shalih bin Abdillah Alu Fauzan, hal. 1www.alfauzan.net) .

Pelajaran dari kisah antara Nabi Musa ‘alaihissalam dengan dua orang wanita di Madyan, yang Allah kisahkan kepada kita dalam Tanzil-Nya: “Tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, di sana ia menjumpai sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternak mereka dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat ternaknya. Musa berkata: ‘Apa maksud kalian berbuat begini, kenapa kalian tidak ikut meminumkan ternak kalian bersama mereka?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternak mereka, sedangkan ayah kami1 telah berusia lanjut.’ Maka Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya, kemudian ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu sembari berjalan dengan malu-malu, ia berkata: ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya, ia menceritakan kisah dirinya. Syu’aib pun berkata: ‘Janganlah takut, engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu (Fir’aun dan pengikutnya).’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’.” (Al-Qashash: 23-26)

Karena sifat wara dan takwa yang ada pada keduanya, kedua wanita ini enggan untuk bercampur (ikhtilath) dengan para penggembala tersebut. Adapun keduanya keluar rumah untuk memberi minum ternaknya adalah karena darurat, di mana sang ayah telah berusia senja sehingga tak mampu lagi mengurus ternak yang ada. Perjumpaan dengan Nabi Musa ‘alaihissalam membuahkan gagasan di benak salah seorang dari wanita tersebut bahwa telah tiba saatnya untuk mengembalikan perkara pada tempat yang semestinya, ia pun berkata kepada sang ayah: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Sang ayah pun menyambut usulan putrinya, kemudian berkata kepada Nabi Musa: “Berkatalah sang ayah: ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, aku tidaklah hendak memberatkanmu. Dan engkau Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’.” (Al-Qashash: 27) [Daurul Mar’ah, hal. 1]

Shalat di masjid sebagai satu amalan yang utama disyariatkan kepada kaum lelaki, banyak pahala akan diraih terlebih bila shalat itu dilakukan di Masjid Nabawi. Namun ternyata bersamaan dengan itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kaum wanita untuk shalat di rumah mereka. Ketika istri Abu Humaid As-Sa’idi datang kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menyatakan: “Wahai Rasulullah, aku senang shalat berjamaah bersamamu.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sungguh aku tahu engkau senang shalat jamaah denganku, namun shalatmu di ruang yang khusus yang ada di rumahmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu, shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad, 6/371, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)

Bila seorang wanita tetap tinggal di rumahnya, ia akan bisa menunaikan tugas-tugas dalam rumahnya, memenuhi hak-hak suaminya, mendidik anak-anaknya dan membekali dirinya dengan kebaikan. Sementara bila seorang wanita sering keluar rumah, ia akan menyia-nyiakan sekian banyak kewajiban yang dibebankan kepadanya. (Nashihati Lin Nisa’, Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah, hal. 101)

Keluar rumah saat ada hajat Dari penjelasan di atas, janganlah dipahami bahwa wanita dilarang secara mutlak untuk keluar dari rumahnya. Bahkan terdapat keterangan dari syariat tentang kebolehan wanita keluar dari rumahnya saat ada kebutuhan dan karena darurat.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah: “Suatu malam, Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha keluar dari rumahnya untuk membuang hajat. Ketika itu ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu melihatnya dan mengenalinya. ‘Umar pun berkata: “Engkau Saudah, demi Allah, tidak tersembunyi bagi kami.” Saudah pun kembali menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia ceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan malam di rumahku. Dalam keadaan tangan beliau sedang memegang tulang yang padanya ada sisa daging, turunlah wahyu, beliau pun berkata: “Allah telah mengizinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi tuntunan kepada para suami untuk tidak melarang istri mereka shalat di masjid, bila si istri minta izin padanya: “Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442)

Dan beliau menyatakan: “Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)

Dari sejarah para shahabiyyah, kita mengetahui ada di antara mereka yang keluar menyertai mahram mereka ke medan jihad untuk memberi minum kepada mujahidin dan mengobati orang yang luka. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita dari kalangan Anshar ikut bersama beliau ketika beliau berperang. Mereka memberi minum dan mengobati mujahidin yang terluka.” (HR. Muslim no. 1810)

Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anhu bertutur: “Aku pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh kali peperangan, aku menjaga dan mengurus tunggangan-tunggangan mereka (mujahidin), membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka dan merawat orang sakit.” (HR. Muslim no. 1812)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan menyertai beliau dalam safarnya. Keluarnya wanita dari rumahnya ini merupakan pengecualian dari hukum asal2 dan disebabkan kepentingan yang darurat dengan memperhatikan dan menjaga adab-adab ketika keluar rumah seperti berhijab dan sebagainya, dan juga tidak ada fitnah dan kerusakan yang akan timbul saat ia keluar rumah.

Adapun bila wanita keluar rumah untuk bekerja karena memperhatikan bualan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu syaithaniyyah bahwasanya bila wanita tetap tinggal di rumahnya ia akan menjadi pengangguran, maka hal ini tidaklah dibolehkan oleh syariat yang agung dan sempurna ini. Bila sampai wanita keluar dari rumahnya karena memenuhi ajakan manis nan berbisa dari pengikut hawa nafsu tersebut maka akan terjadilah kerusakan yang besar di tengah masyarakat dan sendi-sendi keluarga pun akan hancur.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya dapat menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, merawat dan mengobati mereka dan pekerjaan yang semisalnya yang khusus bagi wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya.

Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik secara hakiki maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fi Maidanil ‘Amal, hal. 5)

Arti wanita dalam keluarga Keberadaan seorang wanita sebagai istri dan ibu dalam keluarga memiliki arti yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan dia merupakan satu tiang yang menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “orang-orang besar.” Sehingga tepat sekali bila dikatakan: “Di balik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama: Perbaikan secara dzahir, yang dilakukan di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara yang dzahir. Ini didominasi oleh lelaki, karena merekalah yang biasa tampil di depan umum. Kedua: Perbaikan masyarakat yang dilakukan dari balik dinding/ tembok.

Perbaikan seperti ini dilakukan di rumah-rumah dan secara umum hal ini diserahkan kepada kaum wanita. Karena wanita adalah pengatur dalam rumahnya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang ditujukan ketika itu kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait dan mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33) 

Kami yakin setelah ini bahwasanya tidak salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritasnya tergantung pada wanita dikarenakan dua sebab berikut ini:

Pertama: Kaum wanita itu jumlahnya sama dengan kaum lelaki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh As-Sunnah An-Nabawiyyah. Akan tetapi hal ini tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu zaman dengan zaman lain. Terkadang di satu negeri jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki dan terkadang di negeri lain justru sebaliknya. Sebagaimana di satu masa kaum wanita lebih banyak daripada laki-laki namun di masa lainnya justru sebaliknya, laki-laki lebih dominan. Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang besar dalam memperbaiki masyarakat.

Kedua: Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dalam asuhan wanita. Dengan ini jelaslah tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat.” (Daurul Mar’ah fi Ishlahil Mujtama’, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

Bila demikian keadaannya, apakah bisa diterima ucapan yang mengatakan bahwa wanita yang bekerja dalam rumahnya, berkhidmat pada keluarganya adalah pengangguran? Manakah yang hakekatnya lebih utama, lebih berhasil dan lebih bahagia, wanita yang tinggal di rumahnya, menjaga diri dan kehormatannya, melayani suami hingga keluarganya menjadi keluarga yang sakinah, penuh cinta dan kasih sayang, dan ia mengasuh anak-anaknya hingga tumbuh menjadi anak-anak yang berbakti dan berguna bagi masyarakatnya, ataukah seorang wanita yang sibuk mengejar karier di kantor bersaing dengan para lelaki, bercampur baur dengan mereka, sementara suami dan anak-anaknya ia serahkan pengurusannya kepada orang lain? Manakah yang lebih merasakan ketentraman dan ketenangan? Hendaklah dipahami oleh para wanita bahwa pekerjaan berkhidmat pada keluarga merupakan satu ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pekerjaan di dalam rumahnya bukanlah semata-mata gerak tubuhnya, namun pekerjaan itu memiliki ruh yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti tujuan kehidupan dan rahasia terwujudnya insan. (Daurul Mar’ah, hal. 3)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, ia menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya maka ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja ia inginkan”. (HR. Ahmad, 1/191. Dalam Adabuz Zifaf, hal. 182, Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini hasan atau shahih, ia memiliki banyak jalan.”)

Surga sebagai tempat yang sarat dengan kenikmatan yang kekal abadi dapat dimasuki seorang wanita yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Allah, menjaga kehormatan dirinya dan taat kepada suaminya, dan tentunya semua ini dilakukan oleh seorang wanita di dalam rumahnya. Pekerjaan wanita di dalam rumah Beberapa pekerjaan yang bisa dilakukan wanita di dalam rumahnya, seperti:  Pertama: ibadah kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ummahatul Mukminin untuk berdiam di rumah mereka, Allah gandengkan perintah tersebut dengan perintah beribadah. “Dan tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang terdahulu, tegaklah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Ahzab: 33)

Dengan menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, akan sangat membantu seorang wanita untuk melaksanakan perannya dalam rumah tangga. Dan dengan ia melaksanakan ibadah disertai kekhusyuan dan ketenangan yang sempurna akan memberi dampak positif kepada orang-orang yang ada di dalam rumahnya, baik itu anak-anaknya ataupun selain mereka. Kedua: Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan dan ketenteraman) bagi suami dan juga bagi rumahnya. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan (istri) dari diri-diri kalian agar kalian merasakan ketenangan padanya dan Dia menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah…” (Ar-Rum: 21)

Seorang wanita tidak bisa menjadi sakan bagi suaminya sampai dia memahami hak dan kedudukan suami, kemudian ia melaksanakan hak-hak tersebut dalam rangka taat kepada Allah dengan penuh kesenangan dan keridhaan. Seorang wanita perlu mengetahui tentang besarnya hak suami terhadapnya, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suami.” (HR. Ahmad, 4/381. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa-ul Ghalil no. 1998)

Ketika suaminya telah meninggal pun ia diperintah untuk menahan dirinya dari berhias (ber-ihdad) selama 4 bulan 10 hari. “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali bila yang meninggal itu adalah suaminya maka ia berihdad selama 4 bulan 10 hari.” (HR. Muslim no. 1486)

Seorang wanita bisa menjadi sakan bagi rumahnya bila ia menegakkan beberapa hal berikut ini: Taat secara sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Taat ini merupakan asas ketenangan karena suami sebagai qawwam (pemimpin) tidak akan bisa melaksanakan kepemimpinannya tanpa ketaatan. Dan ketaatan kepada suami ini lebih didahulukan daripada melakukan ibadah-ibadah sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

 Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman, demikian diterangkan dengan jelas oleh orang-orang dalam madzhab kami.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115). Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/356).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga memberikan alasan dalam hal ini: “Sebabnya adalah suami memiliki hak untuk istimta’ (bermesraan) dengan si istri sepanjang hari, haknya dalam hal ini wajib untuk segera ditunaikan sehingga jangan sampai hak ini luput ditunaikan karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah, karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/356)

“Wajib bagi wanita/ istri untuk taat kepada suaminya dalam perkara yang ia perintahkan dalam batasan kemampuannya, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah berikan kepada kaum lelaki di atas kaum wanita, sebagaimana dalam ayat: “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” dan ayat: “Dan bagi kaum lelaki kedudukannya satu derajat di atas kaum wanita.”

Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan bila ia mentaati suaminya atau mendurhakainya, demikian dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 175-176.

Mengerjakan pekerjaan rumah yang dibutuhkan dalam kehidupan keluarga seperti memasak, menjaga kebersihan, mencuci dan semisalnya. Seorang wanita semestinya melakukan tugas-tugas di atas dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati dan kesadaran bahwa hal itu merupakan ibadah kepada Allah. Telah lewat teladan dari para sahabat dalam masalah ini.

Mungkin kita masih ingat bagaimana kisah Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggiling gandum sendiri untuk membuat kue hingga membekaskan kapalan pada kedua tangannya. Ketika akhirnya ia meminta pembantu kepada ayahnya untuk meringankan pekerjaannya maka sang ayah yang mulia memberikan yang lebih baik bagi putri terkasih. “Maukah aku tunjukkan yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Bila kalian berdua hendak berbaring di tempat tidur kalian, bertakbirlah 34 kali, bertahmidlah 33 kali dan bertasbihlah 33 kali. Maka yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” (HR. Al-Bukhari no. 3113 dan Muslim no. 2727)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengingkari khidmat yang dilakukan putrinya dengan penuh kepayahan, padahal putrinya adalah wanita yang utama dan mulia. Bahkan beliau mengakui khidmat tersebut dan memberi hiburan kepada putrinya dengan perkara ibadah yang lebih baik daripada seorang pembantu.

Menjaga rahasia suami dan kehormatannya sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya. Menjaga harta suami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5082 dan Muslim no. 2527). 

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: adalah wanita itu sangat menjaga dan memelihara harta suami dengan berbuat amanah dan tidak boros dalam membelanjakannya. (Fathul Bari, 9/152) Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang (dari seorang ibu), tarbiyah yang baik, mengurusi anak-anak, menjaga harta suami, mengurusi dan mengaturnya dengan cara yang baik.” (Fathul Bari, 9/152) 5.

Bergaul dengan suami dengan cara yang baik. Dengan memaafkan kesalahan suami bila ia bersalah, membuatnya ridha ketika ia marah, menunjukkan rasa cinta kepadanya dan penghargaan, mengucapkan kata-kata yang baik dan wajah yang selalu penuh senyuman. Juga memperhatikan makanan, minuman dan pakaian suami.

Mengatur waktu sehingga semua pekerjaan tertunaikan pada waktunya, menjaga kebersihan dan keteraturan rumah sehingga selalu tampak rapi hingga menyenangkan pandangan suami dan membuat anak-anak pun betah.

Jujur terhadap suami dalam segala sesuatu, khususnya ketika ada sesuatu yang terjadi sementara suami berada di luar rumah. Jauhi sifat dusta karena hal ini akan menghilangkan kepercayaan suami. Ketiga: mendidik anak-anak (tarbiyatul aulad) Tugas ini termasuk tugas terpenting seorang wanita di dalam rumahnya, karena dengan memperhatikan pendidikan anak-anaknya berarti ia mempersiapkan sebuah generasi yang baik dan diridhai oleh Rabbul Alamin.

Dan tanggung jawab ini ia tunaikan bersama-sama dengan suaminya karena setiap mereka adalah mas’ul yang akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adhaah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)

 Keempat: mengerjakan pekerjaan lain di dalam rumah bila ada kelapangan waktu dan kesempatan, seperti menjahit pakaian untuk keluarga dan selainnya. Dengan cara ini ia bisa berhemat untuk keluarganya di samping membantu suami menambah penghasilan keluarga. Apa yang disebutkan di atas dari tugas seorang wanita merupakan tugas yang berat namun akan bisa ditunaikan dengan baik oleh seorang wanita yang shalihah yang membekali dirinya dengan ilmu agama, ditambah bekal pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung tugasnya di dalam rumah. Adapun bila wanita itu tidak shalihah, jahil lagi bodoh maka di tangannya akan tersia-siakan tugas yang mulia tersebut. Wallahu ta’ala a’lam.

catatan: 1 Adapun penyebutan bahwa nama ayah kedua wanita tersebut adalah Nabi Syu’aib, hal ini tidak tsabit (tidak benar). Hal ini diterangkan oleh Ibnu Katisr dalam Tafsir-nya (3/467), menukil perkataan Ibnu Jarir: “Yang benar bahwa hal seperti ini tidak dapat diketahui kecuali dengan adanya kabar/ atsar, dan tidak ada atsar (berita) yang dapat menjadi pegangan dalam hal ini.” (ed) 2 Yaitu wanita harus tinggal dalam rumahnya dan melakukan pekerjaan di dalam rumah.(Admin, dilansir dari Yayasan Harum)

KARAKTER I'RAB HATI MANUSIA





I’rab, secara bahasa, berarti lambang atau tanda baris. Dalam Ilmu Nahwu, berarti lambang yang menandakan sebuah tanda baca atau menyuarakan huruf konsonan arab (huruf hijaiyah) yang berbunyi tertentu (vokal). Misalnya suara A, I, U, AN, IN,UN dan atau hilangnya suara konsonan huruf hijaiyah karena waqaf, sukun dan hadzfun nun.

Dalam istilah tasawwuf, pengertian I’rab berarti lambang sebuah gerakan (fi’liyah) pada sebuah gerakan badani, baik jasad jasmani maupun ruhani, yang meliputi gerak anggota tubuh (gerak arkan), gerak qauliyah dan gerak qalbiyah.

Gerak tubuh adalah semua gerakan yang dilakukan oleh seluruh anggota badan, anggota tubuh (tangan, kaki, kepala, awak, termasuk panca indra). Apa yang dilakukan anggota tubuh itulah gerak arkan (fi’liyah). Sementara  gerak qauliyah adalah gerak lisan (mulut) saja. Dan yang terakhir adalah gerak qalbiyah, yakni gerakan yang dilakukan oleh hati sanubari (qalb).

Jadi keberadaan manusia, eksistensinya terukur oleh tiga gerakan yang dilakukan oleh anggota tersebut di atas. Manakala ia bergerak, maka itulah gerakannya. Sebaliknya, manakala ia diam, baik semuanya atau salah satunya, maka keberadaanya otomatis tidak dapat diperhitungkan lagi.

Berikut ini ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa tubuh manusia itu bergerak elastis dan fleksibel, yang disitilahkan oleh al-ghazali sebagai irab. Namun demikian, al-ghazali menyoroti gerakan tubuh ini hanya pada gerakan hati.

Menurutnya, gerakan hati yang disebut I’rab hati, dapat ditandai dengan empat macam karakter.
Antara lain:

1.       rafa' (terangkat)
2.       fatha (terbuka)
3.       khafadz (turun)
4.       waqaf (berhenti/mati)

Rafa' (terangkat), artinya hati bisa disebut bergerak manakala hati itu melakukan dzikir kpd Allah, pada setiap detiknya, tanpa adanya sesuatu yang lainnya. Hati selalu konsentrasi memadu kasih ingat akan Allah selalu.

Tanda karakter rafa' hati ada 3, yaitu meliputi:

Pertama, ada kecocokan, artinya segala gerak langkah hidup dan kehidupannya selalu sinergis berjalan seimbang antara keinginan Allah dan keinginan yang dilakukan dia. Hukum-hukum Allah berjalan di sanubarinya. Segala perintah, kewajiban, sunnah, mustahab dan mubah (jaiz) berjalan seiring dengan tertib dan sistemik sesuai aturan Allah.

Kedua, hilangnya penyimpangan, artinya bentuk segala gerak dan tingkah laku sama sekali tidak kontra diktif dengan hukum-hukum Allah. Segala bentuk hukum haram, makruh, yang terlarang, segala bentuk kedzaliman, kekufuran, munafik, akhlaq madzmumah sangat terjauh darinya.

Ketiga, lestarinya kerinduan, artinya segala apa yang terbetik di dalam hatinya hanya suasana kerinduan ilahiyah. Setiap langkah dan geraknya menjadi motivasi untuk mencapai cinta kasih dari Allah, kerinduan akan ridha, rahmat dan maghfiroh, yang dibungkus dengan khof dan roja menjadi kesahduan, setiap langkahnya. Kerinduan dirinya diaflikasikan dengan melakukan berbagai amaliyah dzikir, riyadhoh, taqarrub, dan mujahadah kepada Allah.

Fath (terbuka), artinya hati adalah selalu terbuka luas menerima fasilitas yang tersedia dan realitas yang ada, tanpa sedikit pun merasa menolaknya, walaupun yang didapatkannya sangat minus, kecil, tak  memadai, dan bahkan menyakitkan secara kasat mata. Artinya ia rela dan ridho kepada taqdir dari Allah.

Tanda karakter Fath  hati ada 3, yaitu meliputi:

Pertama, kepasrahan, artinya segala tidakan dan fenomena hidupnya diserah terimakan kepada Allah. Bentuk amaliah badani dan ruhaniyah diserahkan kepada Allah, tanpa memikul keinginan apa pun atas segala bentuk perbuatan yang dilakukannya. Termasuk segala apa yang tersaji dan yang diterima dari Allah, dia terima secara ikhlas, tanpa mengeluh, bahkan dia banyak bersyukur terhadapa apa yang dia dapatkan.

Kedua, kejujuran, artinya segala tingkah laku dan gerak badani, yang berupa amliyah itu, dilakukan setulus hatinya tanpa ada tujuan material duniawi sedikit pun atau karena ingin terlihat oleh pandangan makhluk apa pun. Semua hanya jujur karena Allah saja. Pengabdian tulus kepada Allah.

Ketiga, keyakinan, artinya segala perbuatannya hanya kepada Allah. Dia yakin hanya Allah yang mampu menilai baik buruk perilakunya. Oleh karena ia takut dan sekaligus mengharap kepada Allah. Hanya Allah segala apa yang dia lakukan, tidak lain.

Khafadz (turun), artinya hati adalah selalu sibuk dgn selain Allah. Merupakan kebalikan dari rafa. Fenomena hati dalam keadaan ini cenderung melupakan Allah. Banyak melakukan penyimpangan yang dilakukan tubuh (baik fisik maupun ruhaninya). Ia terlalu sibuk memikirkan hal-hal duniawi, mulai harta, tahta, wanita, anak-anak, namun ia masih tetap ingat kepada Allah, walau pun ingatannya sesekali terganggu oleh hawa dunyawi.

Tanda Karakter khafadz hati ada 3, yaitu meliputi :

Pertama, bangga diri, artinya karakter pribadi orang type ini selalu membanggakan diri, sombong, takabbur, tak pernah mau mengalang, ingin selalu dipandang hebat dan wah, segala sesuatunya dialah yang paling baik, paling super dan tak terkalahkan, tak ada bandingnya.

Kedua, pamer, artinya secara otomatis karakter selanjutnya ia selalu memamerkan segala hasil karya perbuatannya, walaupun perbuatannya kadang tak sebanding dengan sifat takabburnya. Ucapan dan tindakannya melebihi karya yang sebenanya. Andaikan ia beribadah atau beramal, tiada lain kecuali bersifat simbolik, hanya ingin terlihat bahwa ia ada di dalam lingkup majlis tersebut, atau ia juga masuk pada golongan mereka.

Ketiga, tamak, yaitu selalu memperhatikan dunia, rakus dan sama sekali tidak peduli kepada sesamanya. Yang dilihat adalah kelebihan dari apa yang dia lakukan, kerjakan. Segala sesuatu perbuatan harus bernilai materila. Bukan keridhoan atau balik kasih dari Allah. Segala upaya dianggap buah karyanya tanpa mengingat itu dari karunia dan pemberian Allah.

Waqaf (berhenti/mati), artinya hati adalah lalai dari Allah. Merupakan kebalikan dari Fath. Fenomena hati dalam keadaan ini cenderung melupakan Allah atau sama sekali mengingkari-Nya. Banyak melakukan penyimpangan lebih sadis dan radikal, yang dilakukan tubuh (baik fisik maupun ruhaninya). Ia terlalu pesimis dan aptis terhadap Allah. Ia tidak lagi mengindahkan Allah. Ia lebih memilih jalan hawa nafsunya, lebih sibuk memikirkan segala sesuatu tindakan yang menimbulkan tingkat mubazir dan membahayakan diri dan orang lain, seperti banyak tidur dan melalum, thulul amal. Bahkan berfikir selalu melakukan makar dan berbuat jahat (dzalim). Aktifitas menuju Allah terhenti total.


Tanda Karakter waqaf hati ada 3, yaitu meliputi :

Pertama, hilangnya rasa manis dalam ketaatan, artinya karakter ini menunjukan, bahwa segala perbuatannya sudah tidak mampu merasakan apaun kecuali rasa duka, payah, dan pahit. Ibadah hanya merupakan beban yang sangat memberatkan saja. Bahkan ibadah menjadi bumerang dan sesuatu yang menjijikan dan menjengkelkan. Lebih dari itu ia bahkan mencegah orang berbuat kebaikan. Ia dendam dengan segala bentuk kebaikan. Ia mati rasa terhadap segala hal kebaikan. Ia cuek dan apatis bahkan membencinya.

Kedua, tiadanya rasa pahit dalam kemaksiatan, artinya ia merasa lebih bangga terhadap keburukan dan kemaksiatan, justru sebaliknya ia merasa bodoh, hina dan kumuh bila melakukan kebaikan seperti yang dilakukan ahli sholihin. Tak heran, seringkali dia mencaci maki dan mencibir orang-orang solihin yang dilihatnya. Kalimat nasihat islami dan baik dianggapnya gogogan anjing, yang tak berguna sama sekali, bahkan dianggapnya celotehan yang menjijikan.

Ketiga, ketidak jelasan kehalalan, artinya makanan dan minuman termasuk seluruh aktifitasnya tidak lagi selaras dengan hukum Allah. Ia lebih memilih segala perbuatannya terukur oleh hawa nafsu dan kebejatan moralnya, budaya jahat dan kedzaliman merupakan hiasan sehari-hari. Tak enak jika tidak menjahati orang lain. Tak enak jika tidak melakukan kejahatan atau kejaliman baik untuk dirinya maupun orang lain. Ia tidak faham lagi apa itu baik dan buruk. Baik dan buruk diukur oleh ukuran kemauan nafsunya saja. Wallahu a'lam. (ubes nur islam)



Sabtu, 29 November 2014

MENYIBAK ALAM GHAIB MELALUI ILMU MUKASYAFAH





Sebelum kita mengupas lebih lanjut tentang apa itu mukasyafah, fenomena, dan mekanismenya, kita perlu  juga menyibak sejenak kisah seorang yang amat luar baiasa, yaitu Nabi Khidr AS. Banyak orang menganggap dan mempercayai Nabi Khidir AS adalah salah satu wali Allah yang paling utama, hingga dengan karomah yang dia miliki, dia mampu hidup sejak zaman Nabi Musa AS hingga sekarang.

Umat  Islam yang meyakini Khidir sebagai seorang Nabi dan bukan Rasul, dimana umat Islam sering menjadikan panutan dan mendatangi mereka yang butuh kepadanya. 

Namun, bagi para sufi, beserta klaimnya tentang realitas Nabi Khidir, bahwa ilmu ghaib yang dimiliki oleh Nabi Khidir AS juga disebut sebagai ilmu laduni atau ilham, yang diperoleh melalui terbukanya pengetahuan rahasia ketika seseorang telah sampai pada maqam yang disebut hakikat. Ilham atau laduni ini disebut juga sebagai mukasyafah. Sifat ilmu ini lebih khusus karena tidak banyak orang mendapatkannya.

 
Mukasyafah dalam definisi

Secara etomologi, mukasyafah berarti terbukanya tirai atau hijab. Asal katanya kasyafa, berarti tersingkap. Yang dimaksud terbukanya tirai di sini, adalah terbukanya rahasia  dari segala rahasia dunia gaib secara mistik atau supranatural. 



Rahasia-rahasia alam yang gelap dan tidak terjangkau oleh dunia indrera bisa begitu terang di mata batin orang yang mendapat ilmu mukasyafah ini. 

Sementara secara terminologi, ulama berbeda pendapat mengenai pengertiannya. Diantaranya akan kita lihat seperti berikut ini, sebagaimana tercantum dalam kitab Sirajut Tholibin. 

Sebagian ulama berpendapat bahwa ilmu mukasyafah adalah nur yang nyata di dalam hati ketika hati itu berada dalam keadaan yang teramat bersih, terbebas dari segala kotoran. Dalam keadaan hati yang teramat suci maka tampaklah di hati itu suatu pengetahuan. 

Apabila seorang hamba telah dianugerahi ilmu mukasyafah, dan ilmu itu telah menghujam pada dirinya, maka terbukalah tutup dari segala rahasia semesta sekaligus menjadi tanda bahwa maqam spiritual orang tersebut telah berada sampai kepada hakikat. Hal ini mengisyaratkan bahwa dengan ilmu mukasyafah semua apa yang sebelumnya tersembunyi dan terselubung berubah menjadi nyata dan terang, tak ada lagi hal yang bisa membuatnya terhalang dari dunia gaib. 

Habu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Apakah kalian melihat kiblatku di sini ? Demi Allah aku tidak terhalangi untuk melihat kekhusyukan dan ruku kalian (dari tempatku shalat ini). Aku benar-benar melihat kalian di belakang pungguku". (HR. Bukhari dan Muslim).

Mengenai penjelasan hadist diatas Ibn Hajar berkata, "Yang benar adalah bahwa hadist ini diartikan sesuai dengan makna harfiahnya. Artinya "melihat" dalam hadist di atas adalah "melihat" secara hakiki yang khusus bagi beliau di mana penglihatan tersebut sangat beda dai penglihatan umumnya."     

DR. 'Abdul Fattah Ahmad dalam karyanya Tasawuf Baina Al-Ghazali, bahwa Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa mukasyafah mempunyai dua pengertian : 

Pertama. Mukasyafah adalah keadaan di mana rohani menjadi bersih dan jernih, yang hanya dapat dicapai oleh manusia-manusia yang benar-benar beriman lagi sholeh sehingga tersingkap baginya hal-hal gaib yang memang tidak bisa dilihat dengan mata indera biasa. Ini merupakan maqam spiritual yang penuh dengan kemuliaan dari Allah SWT.


Kedua. Mukasyafah adalah suatu keadaban jernih yang dicapai oleh hati. Karena kerjernihan itu, Allah SWT membuka salah satu rahasia kegaiban. Mukasyafah termasuk bagian dari karamah yang diyakini oleh kaum muslimin dan ahlussunnah. Ini merupakan bukti kewalian, jika terjadi pada orang saleh yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah.

Menurut Abdul Fattah, keadaan ini tidak terjadi terus menerus, akan tetapi terkadang muncul, dan terkadang tidak. Dalam artian, ilmu ini tidak lantas secara konsisten melekat pada satu orang secara terus-menerus, akan tetapi sifatnya temporer dan sementara. Dalam kondisi spiritual yang jernih seseorang berpeluang untuk mengalami ketersingkapan atau kasyaf, tapi jika kondisi spiritualnya sedang terpuruk orang tersebut tentu tidak akan merasakannya.

Ilmu Mukasyafah dalam Realitas

Menurut Al-Ghazali, ilmu mukasyafah ini hanya bisa diperoleh melaui Nur Illahi. Al-Ghazali berpendapat bahwa mukasyafah merupakan tingkatan ilmu yang paripurna dan menduduki level atas dalam deretan pengetahuan lain mampu dicapai manusia.

Al-Ghazali menyebutkan ilmu ini sebagai fauqa thuril 'aqli, ilmu yang berada di puncak atas akal atau melampaui kekuatan pengetahuan yang berada dalam taraf yang dapat dijangkau akal manusia. Menurutnya, ilmu mukasyafah terbagi menjadi dua macam :  

Mukasyafah Rubbiyah. Merupakan pengalaman keteringkapan berupa terbukanya tirai yang sifatnya ke Tuhanan. Pada jenis ini seorang hamba telah dibukakan oleh Allah sendiri tirai dan hijab yang bagi orang awam tertutup. Saat itu seorang hamba mampu mengetahui rahasia-rahasia Al-Haq, bahkan pada puncaknya seorang hamba akan mampu melihat-Nya.

Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan,  "Maka terbukalah hijab atau tutup, lalu mereka melihat kepadaNya. Demi Allah tidak pernah memberikan kepada mereka sesuatu yang amat menyenangkan mereka kecuali penglihatan itu (Mukasyafah)".

Mukasyafah Ghaibiyah. Yang berarti tirai kegaiban. Mukasyafah ini sebenarnya tidak mempunyai kaitan dengan mukasyafah rubbiyah, karena bukan merupakan anugerah suci yang merupakan rahmat bagi orang-orang sholeh. Jenis mukasyafat ini lebih kepada persoalan bakat sebenarnya. Berdasarkan kenyataan, banyak sekali orang yang merasakan pengalaman mistik atau hal gaib, tapi sebelumnya dia telah melakukan usaha (riyadhah) untuk mengarah ketajaman bakatnya itu.

Berbeda dengan Dr. Abdul Fatah. Ia menjelaskan bahwa ilmu dalam sudut pandang syari'at pada dasarnya terdiri dari : 

Informasi adalah sesuatu yang berkenaan dengan apa yang telah tercakup dalam Islam, sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist. Ruang lingkup informasi mencakup seluruh apa yang dikabarkan oleh keduanya. Informasi mencakup seluruh apa yang dikabarkan oleh keduanya.

Informasi yang dapat kita peroleh dari tuhan melalui Al-Qur'an, secara garis besar terdiri dari pengetahuan akan Tuhan, para malaikat, para nabi, dan para rasul, kitab-kitab suci, hari kiamat, takdir, tentang kebaikan dan keburukan, di samping juga pengetahuan-pengetahuan lainnya. Sedangkan dalam Al-Hadist dapat kita peroleh informasi tentang bagaimana tata cara menjadi muslim yang baik, secara umum telah diperjelas dalam syari'at.

Peraturan adalah sesuatu yang berkenaan dngan segala larangan Allah SWT yang berkaitan dengan seluruh dimensi kehidupan manusia. Disini juga telah banyak diperjelas oleh syari'at. Maka peraturan menjadi suatu landasan yang kedua sebagai amal. 

Sebagaimana Nabi Musa AS setelah dibuka tirai yang menutupi pandangannya terhadap segala hal yang diperbuat oleh Nabi Khidir AS, berarti juga ia telah mengetahui berbagai ilmu yang belum ia ketahui sebelumnya. Hal itu merupakan suatu contoh kecuali suatu bentuk dari "informasi".

Kemudian yang menjadi tugas Nabi Musa AS setelah menguasai beberapa ilmu tersebut ialah bagaimana mengamalkannya. Dan itulah yang disebut peraturan. Peraturan seseorang yang telah memperoleh ilmu yang kemudian berproses untuk mengamalkannya. Contoh ini merupakan bagian dari bentuk hubungan antara ilmu dan amal bagi penuntut ilmu.

Nabi Musa AS telah merasakan ilmu mukasyafah atau ilmu laduni yang diperoleh dari Nabi Khidir AS. Ilmu mukasyafah merupakan bentuk dan terobati hasrat. Menurut Abdul Fatah, ilmu mukasyafah dapat memberikan suatu pemahaman yang dalam, kejernihan penglihatan, kepastian, dan sebagainya, yang berkaitan dengan pokok-pokok ajaran agama Islam maupun cabang-cabangnya. Namun Ilmu mukasyafah tidak dapat meberikan sesuatu pun terhadap amal kecuali pemahaman. 

Tidak ada seorang pun yang telah mengalami mukasyafah menyatakan sesuatu yang saling bertentangan tanpa mampu membuktikan bahwa dirinya telah tersesat. Seperti Nabi Musa AS yang merasa bahwa ia telah bersalah terhadap segala yang dilakukan Nabi Khidir AS, akibat perbuatan ganjilnya yang menurut pandangan Nabi Musa AS, agama tidak pernah membenarkannya. 

Dalam kesimpulannya mengenal ilmu mukasyafah atau ilmu laduni tentang keilmuan Nabi Khidir AS, Adul Fattah menjelaskan, "Pandangan tentang mukasyafah ataupun laduni hanya sebatas pada suatu hal di mana manusia tidak lagi bodoh tentang yang sebelumnya tidak ia ketahui. Mukasyafah dalam hal ini dapat diartikan sebagai ilmu".

Ilmu dan amal bergantung pada bagaimana ilmu mukasyafah atau laduni itu di jalankan dengan baik. Tetapi manusia akan selalu dihadapkan berbagai ujian sehingga tugas mengamalkan dan menjalankannya dapat teratasi dengan sempurna bila manusia tersebut dapat melalui ujian tersebut dengan hati yang ikhlas dan pemikiran yang jernih dalam segala hal. Agar manusia tersebut selalu bersih hati dan pikirannya dan dapat menikmati ilmu mukasyafah tersebut". 

Kelompok sufi menilai ilmu mukasyafah Nabi Khidir AS yang bersumber dari maqam yang lebih tinggi dari syari'at. Sementara ulama tradisional menilai tidak ada yang lebih utama di antara keduanya. Antara maqam hakikat Nabi Khidir AS dan Syari'at Nabi Musa AS sama. 

Para ulama yang yang mendukung kesetaraan antara kedua ilmu tersebut beralasan, tidak dapat dibenarkan bahwa Nabi Khidir AS mempunyai status untuk mengklaim keunggulan orang-orang syari'at dan ilmu-ilmu syari'at. Justru Nabi Khidir AS di utus oleh Allah SWT untuk mengajar Nabi Musa AS yang mengaku dirinya paling berilmu di atas permukaan bumi. 

Ketika Nabi Musa AS ditanya tentang siapa orang yang paling berilmu,sepatutnya beliau mengatakan bahwa Allah SWT itulah Yang Maha Mengetahui tentang segala-galanya. Oleh karena itu, Allah SWT langsung mengatakan kepada Nabi Musa AS bahwa di sna ada seorang hamba Allah yang tidak dikenalinya yang memperoleh ilmu langsung dari Allah SWT, sebagai teguran langsung dari Allah SWT kepada  Nabi Musa AS. Belum sempurna iman seseorang jika hanya melakukan ritual peribadatan tanpa kita mengetahui makna, esensi, serta hakikat dari perbuatan itu.
 

Maka para sufi kemudian mencari makna-makna itu lewat jalan yang tidak terdapat dalam sistem hukum syari'ah, yaitu jalan yang hakikat.

Memang penting kiranya untuk dicatat bahwa hukum Islam dan jalan sufi adalah dua hal yang sama-sama baik, akrena pengetahuan serta pengalaman yang tinggi darinya akan menciptakan pencerahan lahir batin manusia dan tentu saja hal itu menjadi lentera bagi manusia, sehingga ia tahu yang mana ujian dan cobaan yang datang dari Allah SWT serta mana godaan setan yang terkutuk.

Hanya manusia tidak biasa melakukan keduanya secara sekaligus, maka tidaklah bijak, jika manusia meninggalkan salah satu dari ilmu-ilmu yang tengah di tempuhnya. Bahwa dua kecondongan nilai-nilai Islam ini dapat disatu padukan dalam diri manusia, sehingga menciptakan hadirnya kearifan yang lebih agung. 

Tetapi hal terpenting dari kita sebagai manusia, ialah seberapa banyak peluh mengucur ke bumi dami mencipta kelapangan hati dalam menghadapi kehidupan ini beserta ujian dan cobaannya.(ubes dari berbagai sumber)

Sabtu, 15 November 2014

MEMANFAATKAN AIR UNTUK KEBUTUHAN (bagian 1)


Air untuk berbagai kebutuhan

Manusia  hidup pasti tidak lepas dengan air. Air merupakan salah satu materi alam yang penting dalam kehidupan manusia karena dapat dipergunakan untuk keperluan rumah tangga, kesehatan, pertanian, peternakan, perikanan dan industri. Penggunaan air dalam lingkup kehidupan primer rumah tangga khususnya, air digunakan untuk berbagai kebutuhan, umpamanya sebagai air minum, masak, mandi dan mencuci. Bahkan khusus seorang muslim, air merupakan media pokok untuk suksesi sempurna dan sahnya sebuah ritual ibadah, seperti mandi janabah, wudhu, dan mencuci benda-benda terkena najis.

Sumber air yang dipergunakan di rumah tangga, saat ini, khususnya di kawasan perkotaan dan daerah pedesaan (bukan kawasan laut atau pegunungan) biasanya berasal dari PDAM, sumur pompa, sumur terbuka (sumur gali), sumur artesis, kolam, mata air dan lain-lain. Dalam siklus hidup, air merupakan medium berbagai reaksi dan proses eksresi. Tubuh manusia terdiri dari 60-70% air. Idealnya, manusia membutuhkan minimal 5 liter air sehari . Transportasi zat-zat makanan dalam tubuh semuanya dalam bentuk larutan dengan pelarut air, seperti halnya unsur hara dalam tanah hanya dapat diserap oleh akar dalam bentuk larutannya. Oleh karena itu kehidupan ini tidak mungkin dapat dipertahankan tanpa air.

Air konsumsi sebaiknya mengandung mineral yang sangat penting dalam tubuh. Zat besi (Fe) adalah salah satu kandungan mineral yang terdapat dalam air. Kadar Fe dalam jumlah sedikit memang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah. Tetapi, kalau terlalu tinggi dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan, seperti munculnya warna coklat pada air. Fe2+ dapat larut, sehingga berapapun tidak akan menimbulkan kekeruhan. Tapi, kalau sudah kontak dengan udara akan terjadi oksidasi menjadi Fe3+. Endapannya akan menimbulkan warna kekuning-kuningan pada air.

Pengaruh kadar Fe yang tinggi pada rumah tangga yaitu dapat menyebabkan lantai atau dinding bak kamar mandi berwarna merah jika terkena air ini terus menerus. Selain itu pakaian akan berwarna merah atau kuning jika digunakan untuk mencuci. Kadar maksimal kandungan Fe (ferum/zat besi) pada air minum, menurut persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 416/Menkes/Per/IX/1990, maksimal 0,3 mg per liter. Jika air yang dikonsumsi manusia mempunyai kadar Fe berlebihan, bisa menimbulkan kerusakan pada syaraf, gangguan pada ginjal dan lain sebagainya.

Pada umumnya, sumur gali (sumur terbuka) dan sumur bor merupakan salah satu sumber air yang digunakan di rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama sebagai air konsumsi. Beberapa sumur yang akan diuji kadar Fe nya adalah sumur warga yang terletak ±10 m dan ±100 m dari lahan persawahan daerah jalan Wonosari km.9,5 Berbah.

Kini, dengan kondisi udara dan tanah yang tak lagi bagus karena pencemaran, baik akibat industri dan pemanasan global tentunya sangat memengaruhi mutu air yang diminum. Sangat sulit mencari air yang bisa meringankan kerja tubuh manusia. Dengan notabene tetap memerlukan asupan oksigen dari air yang dikonsumsi. Lebih-lebih, keadaan nyata sekarang ini, sumber air berasal dari PDAM, atau proses filterasi dengan mengambil air dari daur ulang limbah air bekas pakai, ini sesungguhnya kualitas air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari telah banyak tercemari berbagai zat-zat yang membahayakan tubuh manusia.

Menurut ilmuwan, Dr Charles Mayo dari Mayo Clinic (salah satu RS terbaik di USA), menyatakan bahwa kualitas air yang terkandung di tanah maupun permukaan sudah sangat jauh menurun kualitasnya. Mineral anorganik dalam air minum adalah penyebab banyaknya penyakit manusia.

Dalam kajian ilmu Hidrologi, air yang meresap ke bawah permukaan tanah dalam bentuk penelusan maupun peresapan, dalam perjalanannya membawa unsur-unsur kimia. Komposisi kimia air tanah ini memberikan beberapa pengaruh terhadap berbagai kegiatan pemanfaatannya seperti pertanian, industri maupun domestik. Komposisi zat terlarut dalam air tanah dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok (dalam Hadipurwo, 2006): Unsur utama (major constituents), dengan kandungan 1,0-1000 mg/l, yakni: natrium, kalsium, magnesium, bikarbonat, sulfat, klorida, silika, Unsur sekunder (secondary constituents), dengan kandungan 0,01-10 mg/l, yakni besi, strountium, kalium, kabornat, nitrat, florida, boron.

Berikutnya, Unsur minor (minor constituents), dengan kandungan 0,0001-0,1 mg/l, yakni atimon, aluminium, arsen, barium, brom, cadmium, krom, kobalt, tembaga, germanium, jodium, timbal, litium, mangan, molibdiunum, nikel, fosfat, rubidium,  selenium, titanium, uranium, vanadium, seng. Dan terakhit, Unsur  langka (trace constituents), dengan kandungan biasanya kurang dari 0,001 mg/l, yakni berilium, bismut, cerium, cesium, galium, emas, indium, lanthanum, niobium, platina, radium, ruthenium, scandium, perak, thalium, tharium, timah, tungsten, yttrium, zirkon.

Klasifikasi Air Tanah

Kualitas air tanah ditentukan oleh tiga sifat utama, yaitu: sifat fisik, kimia, dan sifat biologi/bakteriologi.  Pertama sifat fisik. Sifat fisik antara lain warna, bau, rasa, kekentalan, kekeruhan, suhu (Hadipurwo, 2006). Dalam hal ini, air secara fisik dapat terlihat sebagai berikut:  1.     Warna air tanah  disebabkan oleh zat yang terkandung di dalamnya, baik berupa suspensi maupun terlarut, 2.     Bau air tanah dapat disebabkan oleh zat atau gas yang mempunyai aroma yang terkandung dalam air, 3.     Rasa air tanah ditentukan oleh adanya garam atau zat yang terkandung dalam air tersebut, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut 4.    Kekentalan air dipengaruhi oleh partikel yang terkandung di dalamnya. Semakin banyak yang dikandung akan semakin kental. Di samping itu apabila suhunya semakin tinggi maka kekentalannya akan semakin kecil (encer), 5.    Kekeruhan air disebabkan oleh adanya tidak terlarutkan zat yang dikandung. Sebagai contoh adalah adanya partikel lempung, lanau, juga zat organik ataupun mikroorganisme, dan 6.     Suhu air juga merupakan sifat fisik dari air. Suhu ini dipengaruhi oleh keadaan sekeliling, seperti musim, cuaca, siang-malam, tempat ataupun lokasinya.

Kedua Sifat Kimia. Termasuk dalam sifat kimia adalah kesadahan, jumlah garam terlarut (total dissolved solids atau TDS), daya hantar listrik (electric conductance atau DHL), keasaman, dan kandungan ion. Kesadahan atau kekerasan (total hardness), adanya kandungan Ca dan Mg. Kesadahan ada dua macam, yaitu kesadahan karbonat dan kesadahan non karbonat. Air dengan kesadahan tinggi sukar melarutkan sabun, oleh karenanya  air tersebut perlu dilunakkan lebih dahulu. Jumlah garam terlarut adalah jumlah garam yang terkandung di dalam air. Klasifikasi air berdasarkan jumlah garam terlarut menurut Hem (1959). Sebagai gambaran adalah air laut mengandung garam-garaman terlarut sekitar 34.000 mg/l.

Daya Hantar Listrik  adalah sifat menghatanrkan listrik dari air. Air yang banyak mengandung garam akan mempunyai DHL tinggi. Pengukurannya dengan alat Electric Conductivity Meter(EC Meter), yang satuannya adalah mikromhos/cm atau μmhos/cm atau μsiemens/cm sering ditulis μS/cm. Air tanah pada umumnya mempunyai harga 100 - 5000 μmhos. Besaran DHL dapat dikonversikan menjadi jumlah garam terlarut (mg/l), yaitu: 10 m3 Î¼mhos/cm = 640 mg/l  atau 1 mg/l = 1,56 mmhos/cm (1,56 μS/cm)

Hubungan antara harga DHL dengan jumlah garam yang terlarut secara tepat perlu banyak koreksi seperti temperatur pengukuran, maupun tergantung juga dengan jenis garam yang terlarut, tetapi secara umum angka tersebut di atas sedikit banyak dapat mewakili.

Keasaman air dinyatakan dengan pH, mempunyai besaran mulai dari 1-14. Air yang mempunyai pH 7 adalah netral, sedangkan yang mempunyai pH lebih besar/kecil dari 7 disebut bersifat basa/asam. Jadi air yang mengandung garam kalsium karbonat atau magnesium karbonat, bersifat basa (pH 7,5 - 8), sedangkan yang mempunyai harga pH < 7 adalah bersifat asam, sangat mudah melarutkan Fe, sehingga air yang asam biasanya mempunyai kandungan besi (Fe) tinggi. Pengukuran pH air di lapangan dilakukan dengan pH meter, atau kertas lakmus (Hadipurwo, 2006).

Kandungan ion baik kation maupun anion yang terkandung  di dalam air diukur banyaknya, biasanya dalam satuan part per million (ppm) atau mg/l. Ion-ion yang diperiksa antara lain Na, K, Ca, Mg, Al, Fe, Mn, Cu, Zn, Cl, SO4,  CO2, CO3, HCO3, H2SF,  NH4,  NO3, , NO2, KMn O4,  SiO2, boron, ion-ion logam yang biasanya jarang akan tetapi ion ini bersifat sebagai racun antara lain As, Pb, Sn, Cr, Cd, Hg, Co (Hadipurwo, 2006).

Ketiga Sifat Biologi/Bakteri. Kandungan biologi di dalam air diukur terutama dengan banyaknya bakteri coli. Untuk standar air minum ada batas maksimum kandungan coli yang diperbolehkan

Standard Kualitas Air tanah

Seperti telah diuraikandi atas, standar kualitas air tanah mempunyai 3 (tiga) fungsi bagi manusia (Toth, 1990) yaitu : 1. sebagai sumber alam yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia; 2. bagian dari hidrologi dalam tanah yang mempengaruhi keseimbangan siklus hidrologi global; dan 3. sebagai anggota/ agen dari geologi.

Fungsi pertama air tanah bagi manusia adalah untuk memenuhi berbagai keperluan manusia, misalnya untuk minum, memasak, mandi, mencuci, irigasi, dan juga dibutuhkan dalam beberapa proses industri.

Untuk masing-masing keperluan/penggunaan, ada standar kualitas air tanah yang harus dipenuhi, sebagai contoh syarat kualitas air tanah untuk air minum jelas berbeda dengan air tanah untuk proses industri. Standar kualitas air tanah akan dijelaskan pada sub-bab berikut.


Standar Kualitas Air Minum

Kemudian, Standar  kualitas air minum yang digunakan di Indonesia dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI melalui Keputusan Menteri Kesehatan  Nomor 907 Tahun 2002 tentang Pengawasan Kualitas Air Minum, Di samping itu ada standard air minum lainnya, seperti yang dikeluarkan oleh WHO atau negara lain.

Secara lebih khusus, untuk menguji kadar Fe dalam air sumur dilakukan dengan metode spektrofotometri serapan atom (SSA/AAS). Metode analisis AAS didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada pada tingkat energi dasar (ground state).

Pengujian kadar Fe dalam air sumur ini berfungsi untuk membandingkan kadar Fe dari beberapa sampel air sumur yang terletak ditempat yang berbeda-beda, apakah masih memenuhi standar baku mutu yang telah ditentukan. Sehingga apabila telah diketahui kadar Fe nya dapat dilakukan tahap selanjutnya. Apabila kadar Fe melebihi baku mutu, maka perlu dilakukan proses pengurangan/penurunan kadar. Apabila kandungan Fe dalam air sumur tidak melebihi standar baku mutu, maka tidak perlu dilakukan proses penurunan kadar.

Cara menurunkan kadar Fe yang umum digunakan yaitu dengan cara dioksidasi. Air dikontakkan sebanyak mungkin dengan udara (aerasi). Dengan cara ini maka air sumur yang mempunyai kadar Fe tinggi dapat diturunkan kadarnya sehingga baik untuk dikonsumsi. Cara seperti itu cukup baik, namun untuk melihat mutu air seperti proses laboratorium tersebut, bagi tingkat awam untuk melakukan pengujian laboratorium tidak mudah, selain itu juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 

Kini, tak perlu khawatir. Saat ini orang tak perlu lagi susah-susah mencari tahu tentang kualitas air yang dikonsumsi. Pasalnya kini telah tersedia alat sederhana dengan ukuran relatif kecil yang yang terdapat pada paket staterkit vo2. Tentunya juga makin memudahkan untuk melakukan tes secara mandiri, tak perlu menunggu waktu lama. Cukup satu atau tiga menit kita sudah bisa melihat kualitas air yang diminum dengan melihat perubahan warna dalam air,  memang belum sedetail hasil penelitian di laboratorium. Namun secara kasat bisa lebih mudah dilihat hasilnya secara langsung.  Alat yang mengadopsi teknologi laboratorium ini bernama electro analyzer atau lebih dikenal dengan elektrolizer.

Standar Air Tanah Untuk Bersuci (thaharah)
Islam memandang, air adalah benda yang istimewa dan punya kedudukan khusus, yaitu menjadi media utama untuk melakukan ibadah ritual berthaharah. Air merupakan media yang berfungsi untuk menghilangkan najis, sekaligus juga berfungsi sebagai media untuk menghilangkan hadats.

Kendati ada benda lain juga bisa dijadikan media berthaharah, namun air adalah media yang utama. Sebagai contoh adalh tanah. Tanah memang dapat berfungsi untuk menghilangkan najis, tetapi yang utama tetap air.  Najis berat seperti jilatan anjing, disucikan dengan air 7 kali, tanah hanya salah satunya saja. Tanah memang bisa digunakan untuk bertayammum, namun selama masih ada air, tayammum masih belum dikerjakan.

Berbicara air yang terkait dengan thaharah (besuci baik untuk menghilangkan hadats mapun najis), Islam membagi tingkatan air menjadi beberapa jenis. Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait dengan hukumnya untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab fiqh,  mereka membaginya menjadi 4 macam, yaitu : air mutlaq, air musta’mal, air yang tercampur benda yang suci, dan air yang tercampur dengan benda yang najis.

AIR MUTLAQ

Air mutlaq adalah netral, yakni keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk  digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Dalam fiqih dikenal dengan istilah  thahirun li nafsihi muthahhirun li ghairihi.

Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air teh, air kelapa atau air-air lainnya. Air tersebut tidak  boleh digunakan untuk mensucikan seperti untuk berwudhu` atau mandi. Air yang suci tapi tidak mensucikan namun setiap air yang mensucikan, pastilah air yang suci hukumnya.

Adapun yang termasuk diantara air-air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah :

Air Hujan. Air hujan yang turun dari langit hukum suci dan juga mensucikan. Suci berarti bukan termasuk najis. Mensucikan berarti bisa digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau membersihkan najis pada suatu benda.

Meski pun di zaman sekarang ini air hujan sudah banyak tercemar dan mengandung asam yang tinggi, namun hukumnya tidak berubah, sebab kerusakan pada air hujan diakibatkan oleh polusi dan pencemaran ulah tangan manusia dan zat-zat yang mencemarinya itu bukan termasuk najis.

Ketika air dari bumi menguap naik ke langit, maka sebenarnya uap atau titik-titik air itu bersih dan suci. Meskipun sumbernya dari air yang tercemar, kotor atau najis. Sebab ketika disinari matahari, yang naik ke atas adalah uapnya yang merupakan proses pemisahan antara air dengan zat-zat lain yang mencemarinya. Lalu air itu turun kembali ke bumi sebagai tetes air yang sudah mengalami proses penyulingan alami. Jadi air itu sudah menjadi suci kembali lewat proses itu.

Hanya saja udara kota yang tercemar dengan asap industri, kendaraan bermotor dan pembakaran lainnya memenuhi langit kita. Ketika tetes air hujan itu turun, terlarut kembalilah semua kandungan polusi itu di angkasa. Namun meski demikian, dilihat dari sisi syariah dan hukum air, air hujan itu tetap suci dan mensucikan. Sebab polusi yang naik ke udara itu pada hakikatnya bukan termasuk barang yang najis. Meski bersifat racun dan berbahaya untuk kesehatan, namun selama bukan termasuk najis sesuai kaidah syariah, tercampurnya air hujan dengan polusi udara tidaklah membuat air hujan itu berubah hukumnya sebagai air yang suci dan mensucikan.

Apalagi polusi udara itu masih terbatas pada wilayah tertentu saja seperti perkotaan yang penuh dengan polusi udara. Di banyak tempat di muka bumi ini, masih banyak langit yang biru dan bersih sehingga air hujan yang turun di wilayah itu masih sehat. Tentang sucinya air hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah SWT telah berfirman :

Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki. (QS. Al-Anfal : 11)

Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. (QS. Al-Furqan : 48)

Salju. Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang turun dari langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang membuatnya menjadi butir-butir salju yang intinya adalah air juga namun membeku dan jatuh sebagai salju.

Hukumnya tentu saja sama dengan hukum air hujan, sebab keduanya mengalami proses yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju yang turun dari langit atau salju yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci, baik wudhu`, mandi atau lainnya.
Tentu saja harus diperhatikan suhunya agar tidak menjadi sumber penyakit. Ada hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang kedudukan salju, kesuciannya dan juga fungsinya sebagai media mensucian. Di dalam doa iftitah setiap shalat, salah satu versinya menyebutkan bahwa kita meminta kepada Allah SWT agar disucikan dari dosa dengan air, salju dan embun.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan al-fatihah, beliau menjawab,"Aku membaca,"Ya Allah, Jauhkan aku dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikan aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana pakaian dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun". (HR. Bukhari 744, Muslim 597, Abu Daud 781 dan Nasai 60)

Embun. Embun juga bagian dari air yang turun dari langit, meski bukan berbentuk air hujan yang turun deras. Embun lebih merupakan tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di hamparan kedaunan pada pagi hari. Tetes embun yang ada pada dedaunan atau pada barang yang suci, bisa digunakan untuk mensucikan, baik untuk berwudhu, mandi, atau menghilangkan najis.  Dalilnya sama dengan dalil di atas yaitu hadits tentang doa iftitah riwayat Abu Hurairah ra.

Air Laut. Air laut adalah air yang suci dan juga mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu, mandi janabah ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’). Termasuk juga untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.

Meski pun rasa air laut itu asin karena kandungan garamnya yang tinggi, namun hukumnya sama dengan air hujan, air embun atau pun salju. Bisa digunakan untuk mensucikan. Sebelumnya para shahabat Rasulullah SAW tidak mengetahui hukum air laut itu, sehingga ketika ada dari mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air yang mereka bawa hanya cukup untuk keperluan minum, mereka berijtihad untuk berwudhu` menggunakan air laut.

Sesampainya kembali ke daratan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukum menggunakan air laut sebagai media untuk berwudhu`. lalu Rasulullah SAW menjawab bahwa air laut itu suci dan bahkan bangkainya pun suci juga.

Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah SAW menjawab,`(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu Majah 386, An-Nasai 59, Malik 1/22).

Hadits ini sekaligus juga menjelaskan bahwa hewan laut juga halal dimakan, dan kalau mati menjadi bangkai, bangkainya tetap suci.

Air Zam-zam. Air Zam-zam adalah air yang bersumber dari mata air yang tidak pernah kering. Mata air itu terletak beberapa meter di samping ka`bah sebagai semua sumber mata air pertama di kota Mekkah, sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu. Bolehnya air zam-zam untuk digunakan bersuci atau berwudhu, ada sebuah hadits Rasulullah SAW dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Dari Ali bin Abi thalib ra bahwa Rasulullah SAW meminta seember penuh air zam-zam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya untuk berwudhu`. (HR. Ahmad).

Selain boleh digunakan untuk bersuci, disunnahkan buat kita untuk minum air zam-zam, lantaran air itu memiliki kemulian tersendiri di sisi Allah. Namun para ulama sedikit berbeda pendapat tentang menggunakan air zamzam ini untuk membersihkan najis, menjadi 3 pendapat :

* Pendapat Pertama. Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats, yaitu berwudhu atau mandi janabah. Namun kurang disukai (karahah) kalau digunakan untuk membersihkan najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang sangat mulia, sehingga mereka cenderung kurang menyukai bisa kita membersihakn najis dengan air zamzam.

* Pendapat Kedua. Mazhab Al-Malikiyah secara resmi tidak membedakan antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah. Dalam pandangan mereka, air zamzam boleh digunakan untuk bersuci, baik untuk wudhu, mandi, istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada badan, pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air zam-zam.

* Pendapat Ketiga. Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasuk karahah (kurang disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci, baik untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah), apalagi untuk membersihkan najis.  

Pendapat ini didukung dengan dalil atsar dari shahabat Nabi SAW yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu : Aku tidak menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid, namun air zamzam itu buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu'

Air Sumur atau Mata Air. Air sumur, mata air dan dan air sungai adalah air yang suci dan mensucikan. Sebab air itu keluar dari tanah yang telah melakukan pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air itu untuk wudhu, mandi atau mensucikan diri, pakaian dan barang dari najis.

Dalil tentang sucinya air sumur atau mata air adalah hadits tentang sumur Budha`ah yang terletak di kota Madinah.

Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah?, padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh, dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35)5.

Air Sungai. Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci, karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahuu umat Islam terbiasa mandi, wudhu` atau membersihkan najis termasuk beristinja’ dengan air sungai.  Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi, terutama di kota-kota besar, air sungai itu tercemar berat dengan limbah beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung najis, namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan kesehatan.

Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih besar. Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak, limbah WC atau bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air sungai berubah warna, bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski jumlahnya banyak.

Sebab meskipun jumlahnya banyak, tetapi seiring dengan proses pencemaran yang terus menerus sehingga merubah rasa, warna dan aroma yang membuat najis itu terasa dominan sekali dalam air sungai, jelaslah air itu menjadi najis. Maka tidak syah bila digunakan untuk wudhu`, mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa, aroma dan warnanya berubah seperti bau najis.

Umumnya hal itu tidak terjadi pada air laut, sebab jumlah air laut jauh lebih banyak meskipun pencemaran air laut pun sudah lumayan parah dan terkadang menimbulkan bau busuk pada pantai-pantai yang jorok.

AIR MUSTA’MAL

Jenis yang kedua dari pembagian air adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang, atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta'mal.

Kata musta'mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu yang bermakna menggunakan. Maka air musta'mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah, yaitu berwudhu atau mandi janabah.

Air musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan, atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk keperluan lain, selain untuk wudhu’ atau mandi janabah.

Air sisa bekas cuci tangan, cuci muka, cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah, atau bukan bekas wudhu, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal, karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.

Lalu bagaimana hukum menggunakan air musta'mal ini? Masih bolehkah sisa air yang sudah digunakan utuk berwudhu atau mandi janabah digunakan lagi untuk wudhu atau mandi janabah?
Dalam hal ini memang para ulama berbeda pendapat, apakah air musta’mal itu boleh digunakan lagi untuk berwudhu’ dan mandi janabah?.

Perbedaan pendapat itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah SAW yang kita terima dari Rasulullah SAW. Beberapa nash hadits itu antara lain :

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Janganlah sekali-kali seorang kamu mandi di air yang diam dalam keadaan junub. (HR. Muslim)

”Janganlah sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam tidak mengalir, kemudian dia mandi di dalam air itu”.7 Riwayat Muslim,”Mandi dari air itu”.8 Dalam riwayat Abu Daud,”Janganlah mandi janabah di dalam air itu. (HR. Muslim)

Dari seseorang yang menjadi shahabat nabi SAW berkata,”Rasululllah SAW melarang seorang wanita mandi janabah dengan air bekas mandi janabah laki-laki. Dan melarang laki-laki mandi janabah dengan air bekas mandi janabah perempuan. Hendaklah mereka masing-masing menciduk air. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)10

Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW pernah mandi dengan air bekas Maimunah ra. (HR. Muslim)

Riwayat Ashhabussunan: ”Bahwasanya salah satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember kemudian datang Nabi dan mandi dari padanya lalu berkata isterinya, ”saya tadi mandi janabat, maka jawab Nabi SAW.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat”.

Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata pengertian musta’mal di antara fuqaha’ mazhab masih terdapat variasi perbedaan. Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta'mal, atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta'mal :

a. Ulama Al-Hanafiyah. Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.

Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah. Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.

b. Ulama Al-Malikiyah. Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).

Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.   Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).

c. Ulama Asy-Syafi`iyyah. Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.

Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.

d. Ulama Al-Hanabilah. Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.

Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu`. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu`.

Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta’mal. Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` atau mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.

Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 c, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` ke-musta’mal-annya.

Batasan Volume 2 Qullah
Para ulama ketika membedakan air musta'mal dan bukan (ghairu) musta'mal, membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta'mal. Bila volume air itu telah melebihi volume minimal, maka air itu terbebas dari kemungkinan musta'mal. Itu berarti, air dalam jumlah tertentu, meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah, tidak terkena hukum sebagai air musta'mal.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW : Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, “Rasulullah SAW telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak  najis”. (HR Abu Dawud, Tirmidhi, Nasa’i, Ibnu Majah)16

Hadits inilah yang mendasari keberadaan volume air dua qullah, yang menjadi batas volume air sedikit. Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang membatasai kemusta'malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter, kubik atau barrel.

Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan istilah kati. Ukuran rithl ini pun tidak standar di beberapa negeri Islam. 1 rithl buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran 1 rithl buat orang Mesir.

Jadi, ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya. Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 rithl.  Begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga, jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama, yang menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan volume 1 rithl Syam.

Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international dimasa sekarang ini? Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.  Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta’mal.  Air itu suci secara pisik, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta’mal.

AIR YANG TERCAMPUR DENGAN BARANG YANG SUCI

Jenis air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya. Apabila  air telah keluar dari karakternya sebagai air mutlak atau murni, air itu hukumnya suci namun tidak mensucikan. Misalnya air dicampur dengan susu, meski air itu suci dan susu juga benda suci, tetapi campuran antara air dan susu sudah menghilangkan sifat utama air murni menjadi larutan susu. Air yang seperti ini tidak lagi bisa dikatakan air mutlak, sehingga secara hukum tidak sah kalau digunakan untuk berwudhu' atau mandi janabah. Meski pun masih tetap suci.

Demikian juga dengan air yang dicampur dengan kaldu daging, irisan daging dan bumbu-bumbu. Air itu kita anggap sudah keluar dari karakter kemutalakannya. Bahkan kita sudah tidak lagi menyebutnya sebagai air, melainkan kita sebut 'kuah bakso'. Tentu saja kita tidak dibenarkan berwudhu dengan kuah bakso.

Hal yang sama terjadi pada kasus air yang dicampur dengan benda lain, seperti teh tubruk, kopi, wedhang ronde, santan kelapa, kuah gado-gado, kuah semur dan opor dan seterusnya, meski semua mengandung air dan tercampur dengan benda suci, namun air itu mengalami perubahan karakter dan kehilangan kemutlakannya. Sehingga air itu meski masih suci tapi tidak sah untuk dijadikan media bersuci.

Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya. Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR. Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah 1458).

Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapur dan sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.

Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mandi bersama Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung. (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240)

AIR MUTANAJJIS

Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur dengan barang atau benda yang najis. Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa juga  sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya tergantung dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah tercampur benda yang najis. Dan perubahan itu sangat erat kaitannya dengan perbandingan jumlah air dan besarnya noda najis.

Pada air yang volumenya sedikit seperti air di dalam kolam kamar mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar dan jumlah volume air yang kecil.

   Tapi dalam kasus bangkai anjing itu dibuang ke dalam danau yang luas, tentu tidak semua air di danau itu menjadi berubah najis. apalagi kalau airnya adalah air di lautan. Di laut sudah tidak terhitung jumlah najis, tetapi semua najis itu dibandingkan dengan jumlah volume air laut, tentu bisa diabaikan. Kecuali air laut yang berada di dekat-dekat sumber najis yang mengalami perubahan akibat tercemar najis, maka hukumnya juga ikut najis.

Indikator Kenajisan
Agar kita bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, maka para ulama membuat indikator, yaitu rasa, warna atau aromanya.

a. Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu iut menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.

b. Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan. Baik air itu sedikit atau pun banyak. Dalilnya adalah hadits tentang a`rabi (arab kampung) yang kencing di dalam masjid :

Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersabda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk menyusahkan. (HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu Majah 529).

Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budha`ah? Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad 3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35)

AIR MUSAKHKHAN MUSYAMMASY

Air musakhkhan, artinya adalah air yang dipanaskan. Sedangkan musyammas,  diambil dari kata syams yang artinya matahari. Jadi air musakhkhan musyammas artinya adalah air yang berubah suhunya menjadi panas akibat sinar matahari. Sedangkan air yang dipanaskan dengan kompor atau dengan pemanas listrik, tidak termasuk ke dalam pembahasan disini.

Hukum air ini untuk digunakan berthaharah menjadi hal khilafiyah di kalangan ulama. Berikut ini pandangan ulama.

a. Pendapat Yang Membolehkan Mutlak
Pendapat ini mengatakan tidak ada bedanya antara air yang dipanaskan oleh matahari atau air putih biasa. Keduanya sama-sama suci dan mensucikan dan boleh digunakan tanpa ada kemakruhan. Yang berpendapat seperti ini adalah umumnya jumhur mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah. Bahkan sebagian ulama di kalangan Asy-Syafi'iyah seperti Ar-Ruyani dan Al-Imam An-Nawawi sekali pun juga berpendapat sama.

b. Pendapat Yang Memakruhkan
Pendapat ini cenderung memakruhkan air yang dipanaskan oleh sinar matahari. Di antara mereka yang memakruhkannya adalah mazhab Al-Malikiyah dalam pendapat yang muktamad, sebagian ulama di kalangan mazhab dan sebagian Al-Hanafiyah.

Pendapat yang kedua ini umumnya mengacu kepada atsar dari shahabat Nabi SAW, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu, yang memakruhkan mandi dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari. “Bahwa beliau memakruhkan mandi dengan menggunakan air musyammas” (HR. Asy-Syafi'i)

Larangan ini disinyalir berdasarkan kenyataan bahwa air yang dipanaskan lewat sinar matahari langsung akan berdampak negatif kepada kesehatan, sebagaimana dikatakan oleh para pendukungnya sebagai yakni mengakibatkan penyakit belang.

“Jangan lakukan itu wahai Humaira' karena dia akan membawa penyakit belang”. (HR. Ad-Daruquthuny)

Kemakruhan yang mereka kemukakan sesungguhnya hanya berada pada wilayah kesehatan, bukan pada wilayah syariah.  Namun mereka yang mendukung pendapat ini, seperti Ad-Dardir menyatakan air musyammas musakhkhan ini menjadi makruh digunakan untuk berthaharah, manakala dilakukan di negeri yang panasnya sangat menyengat seperti di Hijaz (Saudi Arabia). Sedangkan negeri yang tidak mengalami panas yang ekstrim seperti di Mesir atau Rum, hukum makruhnya tidak berlaku.


AIR MUSAKHKHAN GHAIRU MUSYAMMASY

Musakhkhan ghairu musyammasy artinya adalah air yang menjadi panas tapi tidak karena terkena sinar matahari langsung. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa air yang ini tidak makruh untuk digunakan wudhu atau mandi janabah, lantaran tidak ada dalil yang memakruhkan.

Bahkan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan meski air itu menjadi panas lantaran panasnya benda najis, tetap saja air itu boleh digunakan untuk berthaharah.  Namun bila air itu bersuhu sangat tinggi sehingga sulit untuk menyempurnakan wudhu dengan betul-betul meratakan anggota wudhu dan air secara benar-benar (isbagh), hukumnya menjadi makruh, bukan karena panasnya tetapi karena tidak bisa isbagh.


NETRALISASI DAN PENSUCIAN AIR

Air yang sudah terkena pencemaran najis masih bisa disucikan kembali, asalkan memenuhi ketentuan atau kriteria yang telah ditetapkan. Abu Ja'far Al-Hindawani dan Abu Al-Laits mengatakan bila air yang mengandung najis itu mendapat suplai air suci dari luar sedangkan air yang mengadung najis tadi sebagiannya juga keluar, sehingga terjadi aliran atau siklus, maka hukumnya kembali lagi menjadi suci ketika bekas-bekas atau tanda-tanda najis itu sudah hilang. Pada saat itu air itu sudah dianggap air yang mengalir seperti sungai dan sejenisnya.

Abu Bakar Al-A'masy mengatakan bahwa air yang terkena najis dalam suatu wadah harus mendapatkan suplai air suci baru, dimana air yang sebelumnya juga mengalir keluar kira-kira sebanyak tiga kali volume air yang ada sebelumnya. Dalam hal ini dianggap air itu sudah dicuci 3 kali.

Al-Malikiyah mengatakan bahwa air yang najis itu akan kembali menjadi suci manakala dituangkan lagi ke dalamnya air yang baru, sehingga tanda-tanda kenajisannya menjadi hilang.


AS-SU’RU

As-Su’ru adalah sisa yang tertinggal pada sebuah wadah air setelah seseorang atau hewan meminumnya. Dalam masalah fiqih, hal ini menjadi persoalan tersendiri, sebab air itu tercampur dengan ludah hewan tersebut, sementara hewan itu boleh jadi termasuk di antara hewan yang air liurnya najis.

Su’ru Manusia
Manusia itu tidak najis, baik manusia itu laki-laki atau wanita. Termasuk juga wanita yang sedang mendapatkan haidh, nifas atau istihadhah. Juga orang yang sedang dalam keadaan junub karena mimpi, mengeluarkan mani atau sehabis melakukan hubungan seksual. Sebab pada dasarnya manusia itu suci. Dasar kesucian tubuh orang yang sedang junub atau haidh adalah hadits berikut ini.

Dari Aisyah ra berkata,`Aku minum dalam keadaan haidh lalu aku sodorkan minumku itu kepada Rasulullah SAW. Beliau meletakkan mulutnya pada bekas mulutku. (HR. Muslim)

Begitu juga hukumnya orang kafir, sisa minumnya itu tetap suci dan tidak merupakan najis. Sebab tubuh orang kafir itu tetap suci meski dia tidak beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Kalau pun ada ungkapan bahwa orang kafir itu najis, maka yang dimaksud dengan najis adalah secara maknawi, bukan secara zhahir atau jasadi. Seringkali orang salah mengerti dalam memahami ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini :

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis , maka janganlah mereka mendekati masjidi al-haram sesudah tahun ini. (QS. At-Taubah : 28)

Dahulu orang-orang kafir yang datang kepada Rasulullah SAW bercampur baur dengan umat Islam. Bahkan ada yang masuk ke dalam masjid. Namun Rasulullah SAW tidak pernah diriwayatkan memerintahkan untuk membersihkan bekas sisa orang kafir. Ada hadits Abu Bakar berikut ini :

Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian, lalu disodorkan sisanya itu kepada a`rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya, lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata,`Ke kanan dan ke kanan`. (HR. Bukhari)

Kecuali bila manusia itu baru saja meminum khamar, maka hukum ludah atau su’runya menjadi haram.

Su’ru Hewan
Hukum su’ru hewan atau air yang telah kemasukkan moncong hewan, sangat tergantung dari hukum hewan itu, apakah hewan itu najis atau tidak. Para ulama lantas membedakannya sesuai dengan kriteria itu.

Su’ru Hewan Yang Halal Dagingnya.
Bila hewan itu halal dagingnya maka su’ru nya pun halal juga atau tidak menjadikan najis. Sebab ludahnya timbul dari dagingnya yang halal. Maka hukumnya mengikuti hukum dagingnya.

Abu Bakar bin Al-Munzir menyebutkan bahwa para ahli ilmu telah sepakat tentang hal ini. Air yang bekas diminum oleh hewan yang halal dagingnya boleh digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau memberishkan najis.

Su’ru Anjing dan Babi
Anjing dan babi adalah hewan yang najis bahkan termasuk najsi mughallazhah atau najis yang berat. Hal ini sudah menjadi kesepakatan semua ulama.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali. (HR. Bukhari 172, Muslim 279.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali". Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan  salahsatunya dengan tanah". (HR. Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)

Sedangkan najisnya babi sudah jelas disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah . Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 173)

Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk berhala. Dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah kefasikan .(QS. Al-Maidah : 3)

Katakanlah: `Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang`.(QS. Al-A`nam : 145)

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nahl : 115)

Su’ru Kucing
Hukum kucing itu sendiri berbeda-beda dalam pandangan ulama. Sebaigan ulama mengatakan najis dan sebagian ulama lainnya mengatakan tidak najis. At-Thahawi mengatakan bahwa kucing itu najis karena dagingnya najis bagi kita. Dan karena itu pula maka ludahnya atau sisa minumnya pun hukumnya najis. Sebab dagingnya pun najis. Namun meski demikian, karena ada dalil yang secara khusus menyebutkan bahwa sisa minum kucing itu tidak najis, maka ketentuan umum itu menjadi tidak berlaku, yaitu ketentuan bahwa semua yang dagingnya najis maka ludahnya pun najis. Minimal khusus untuk kucing.

Dalil yang menyebutkan tidak najisnya ludah kucing itu adalah hadits berikut ini : Rasulullah SAW bersabda,"Kucing itu tidak najis, sebab kucing itu termasuk yang berkeliaran di tengah kita". (HR. Abu Daud 75, At-Tirmizy 92, An-Nasai 68, Ibnu Majah 367, Ahmad 5/303)

Sedangkan Al-Kharkhi dan Abu Yusuf mengatakan bahwa su’ru kucing itu hukumnya makruh. Alasannya adalah bahwa kucing itu serng menelan atau memakan tikus yang tentu saja mengakibatkan su’runya saat itu menjadi najis.

Dalam hal ini Abu Hanifah juga sependapat bahwa kucing yang baru saja memakan tikus, maka su’runya najis. Sedangkan bila tidak langsung atau ada jeda waktu tertentu, maka tidak najis.  Hal ini sesuai dengan hukum su’ru manusia yang baru saja meminum khamar, maka ludahnya saat itu menjadi najis.

Su’ru Keledai dan Bagal
Bila sesekor keledai atau bagal minum dari suatu air, maka sisa air itu hukumnya masykuk (diragukan) antara halal atau tidak halal untuk digunakan wudhu’ dan mandi. Sebab ada beberapa dalil yang saling bertentangan sehingga melahirkan khilaf di kalangan para ulama. Pengharaman su’ru kepada kedua jenis hewan ini berdasarkan ketentuan bahwa bila daging seekor hewan itu najis, maka ludahnya pun ikut menjadi najis. Para ulama mengatakan bahwa daging keledai dan bagal itu najis, maka kesimpulannya mereka yang menajiskan su’ru kedua hewan ini adalah najis.

Sebaliknya, ada pula yang tidak menajiskannya dengan berdasarkan kepada hadits berikut ini : Dari Jabir ra dari Rasulullah SAW bahwa beliau ditanya,`Bolehkah kami berwudhu denga air bekas minum keledai?. Rasulullah SAW menajawab,`Ya, boleh,`. (HR. Ad-Daruquthuny 173, Al-Baihaqi 1/329).

Perbedaan Pendapat hukum su’ru hewan di Kalangan Fuqaha’
Para Fuqaha’ besar berbeda pendapat dalam masalah hukum su’ru hewan. Diantaranya adalah pendapat berikut ini :

a. Imam Abu Hanifah. Pendapat beliau terhadap masalah su’ru hewan ini terbagi menjadi empat besar sesuai dengan jenis hewan tersebut. Sebagaimana yang sudah kami bahas di atas.

b. Al-Imam Malik. Sebaliknya, Al-Imam Malik justru mengatakan bahwa hukum su’ru semua jenis hewan itu halal. Tidak pandang apakah hewan itu najis atau tidak. Sebab beliau berpendapat bahwa untuk menajiskan su’ru itu harus ada dalil yang kuat dan sharih, tidak bisa sekedar mengikuti dagingnya yang bila dagingnya halal lalu ludahnya ikut halal atau bila dagingnya haram ludahnya ikut haram.

c. Al-Imam Asy-Syafi`i. Beliau berpendapat bahwa semua jenis su’ru hewan itu halal, kecuali hanya su’ru anjing dan babi saja yang haram. Dalil yang digunakan oleh mazhab beliau adalah bahwa pada dasarnya Islam tidak memberatkan para pemeluknya. Kecuali bila benar-benar sharih dan kuat dalilnya berdasarkan Al-Quran Al-Kariem dan sunnah. Sebab Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran Al-Kariem :

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Maidah : 6) dan “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj : 78) (Ubes Nur Islam dari berbagai sumber)