Air untuk
berbagai kebutuhan
Manusia
hidup pasti tidak lepas dengan air. Air merupakan salah satu materi alam yang
penting dalam kehidupan manusia karena dapat dipergunakan untuk keperluan rumah
tangga, kesehatan, pertanian, peternakan, perikanan dan industri. Penggunaan
air dalam lingkup kehidupan primer rumah tangga khususnya, air digunakan untuk
berbagai kebutuhan, umpamanya sebagai air minum, masak, mandi dan mencuci. Bahkan
khusus seorang muslim, air merupakan media pokok untuk suksesi sempurna dan
sahnya sebuah ritual ibadah, seperti mandi janabah, wudhu, dan mencuci
benda-benda terkena najis.
Sumber air yang
dipergunakan di rumah tangga, saat ini, khususnya di kawasan perkotaan dan daerah
pedesaan (bukan kawasan laut atau pegunungan) biasanya berasal dari PDAM, sumur
pompa, sumur terbuka (sumur gali), sumur artesis, kolam, mata air dan
lain-lain. Dalam siklus hidup, air merupakan medium berbagai reaksi dan proses
eksresi. Tubuh manusia terdiri dari 60-70% air. Idealnya, manusia membutuhkan
minimal 5 liter air sehari . Transportasi zat-zat makanan dalam tubuh semuanya
dalam bentuk larutan dengan pelarut air, seperti halnya unsur hara dalam tanah
hanya dapat diserap oleh akar dalam bentuk larutannya. Oleh karena itu
kehidupan ini tidak mungkin dapat dipertahankan tanpa air.
Air konsumsi
sebaiknya mengandung mineral yang sangat penting dalam tubuh. Zat besi (Fe)
adalah salah satu kandungan mineral yang terdapat dalam air. Kadar Fe dalam
jumlah sedikit memang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah. Tetapi,
kalau terlalu tinggi dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan
lingkungan, seperti munculnya warna coklat pada air. Fe2+ dapat
larut, sehingga berapapun tidak akan menimbulkan kekeruhan. Tapi, kalau sudah
kontak dengan udara akan terjadi oksidasi menjadi Fe3+. Endapannya akan menimbulkan warna
kekuning-kuningan pada air.
Pengaruh kadar Fe
yang tinggi pada rumah tangga yaitu dapat menyebabkan lantai atau dinding bak
kamar mandi berwarna merah jika terkena air ini terus menerus. Selain itu
pakaian akan berwarna merah atau kuning jika digunakan untuk mencuci. Kadar
maksimal kandungan Fe (ferum/zat besi) pada
air minum, menurut persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No
416/Menkes/Per/IX/1990, maksimal 0,3 mg per liter. Jika air yang dikonsumsi
manusia mempunyai kadar Fe berlebihan, bisa menimbulkan kerusakan pada syaraf,
gangguan pada ginjal dan lain sebagainya.
Pada umumnya, sumur
gali (sumur terbuka) dan sumur bor merupakan salah satu sumber air yang
digunakan di rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama
sebagai air konsumsi. Beberapa sumur yang akan diuji kadar Fe nya adalah sumur
warga yang terletak ±10 m dan ±100 m dari lahan persawahan daerah jalan
Wonosari km.9,5 Berbah.
Kini, dengan
kondisi udara dan tanah yang tak lagi bagus karena pencemaran, baik akibat
industri dan pemanasan global tentunya sangat memengaruhi mutu air yang
diminum. Sangat sulit mencari air yang bisa meringankan kerja tubuh manusia.
Dengan notabene tetap memerlukan asupan oksigen dari air yang dikonsumsi. Lebih-lebih,
keadaan nyata sekarang ini, sumber air berasal dari PDAM, atau proses filterasi
dengan mengambil air dari daur ulang limbah air bekas pakai, ini sesungguhnya
kualitas air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari telah banyak tercemari
berbagai zat-zat yang membahayakan tubuh manusia.
Menurut ilmuwan,
Dr Charles Mayo dari Mayo Clinic (salah satu RS terbaik di USA), menyatakan
bahwa kualitas air yang terkandung di tanah maupun permukaan sudah sangat jauh
menurun kualitasnya. Mineral anorganik dalam air minum adalah penyebab
banyaknya penyakit manusia.
Dalam kajian ilmu Hidrologi, air yang meresap ke bawah
permukaan tanah dalam bentuk penelusan maupun peresapan, dalam
perjalanannya membawa unsur-unsur kimia. Komposisi kimia air tanah ini
memberikan beberapa pengaruh terhadap berbagai kegiatan pemanfaatannya seperti
pertanian, industri maupun domestik. Komposisi zat terlarut dalam air tanah
dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok (dalam Hadipurwo, 2006): Unsur utama (major
constituents), dengan kandungan 1,0-1000 mg/l, yakni: natrium,
kalsium, magnesium, bikarbonat, sulfat, klorida, silika, Unsur sekunder (secondary constituents), dengan kandungan 0,01-10
mg/l, yakni besi, strountium, kalium, kabornat, nitrat, florida, boron.
Berikutnya, Unsur
minor (minor
constituents), dengan kandungan 0,0001-0,1 mg/l, yakni atimon,
aluminium, arsen, barium, brom, cadmium, krom, kobalt, tembaga, germanium,
jodium, timbal, litium, mangan, molibdiunum, nikel, fosfat, rubidium,
selenium, titanium, uranium, vanadium, seng. Dan terakhit, Unsur langka (trace
constituents), dengan kandungan biasanya kurang dari 0,001 mg/l,
yakni berilium, bismut, cerium, cesium, galium, emas, indium, lanthanum,
niobium, platina, radium, ruthenium, scandium, perak, thalium, tharium, timah,
tungsten, yttrium, zirkon.
Klasifikasi Air
Tanah
Kualitas air
tanah ditentukan oleh tiga sifat utama, yaitu: sifat fisik, kimia,
dan sifat biologi/bakteriologi. Pertama sifat
fisik. Sifat fisik antara lain warna, bau, rasa, kekentalan, kekeruhan,
suhu (Hadipurwo, 2006). Dalam hal ini, air secara fisik dapat terlihat sebagai
berikut: 1. Warna
air tanah disebabkan oleh zat yang terkandung di dalamnya, baik
berupa suspensi maupun terlarut, 2. Bau air
tanah dapat disebabkan oleh zat atau gas yang mempunyai aroma yang
terkandung dalam air, 3. Rasa air
tanah ditentukan oleh adanya garam atau zat yang terkandung dalam air
tersebut, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut 4. Kekentalan
air dipengaruhi oleh partikel yang terkandung di dalamnya. Semakin banyak yang
dikandung akan semakin kental. Di samping itu apabila suhunya semakin tinggi
maka kekentalannya akan semakin kecil (encer), 5. Kekeruhan
air disebabkan oleh adanya tidak terlarutkan zat yang dikandung. Sebagai contoh
adalah adanya partikel lempung, lanau, juga zat organik ataupun
mikroorganisme, dan 6. Suhu air juga merupakan
sifat fisik dari air. Suhu ini dipengaruhi oleh keadaan sekeliling,
seperti musim, cuaca, siang-malam, tempat ataupun lokasinya.
Kedua Sifat Kimia.
Termasuk dalam sifat kimia adalah kesadahan, jumlah garam terlarut (total
dissolved solids atau
TDS), daya hantar listrik (electric conductance atau
DHL), keasaman, dan kandungan ion. Kesadahan atau kekerasan (total hardness), adanya kandungan Ca dan Mg.
Kesadahan ada dua macam, yaitu kesadahan karbonat dan kesadahan non
karbonat. Air dengan kesadahan tinggi sukar melarutkan sabun, oleh
karenanya air tersebut perlu dilunakkan lebih dahulu. Jumlah garam
terlarut adalah jumlah garam yang terkandung di dalam air. Klasifikasi air
berdasarkan jumlah garam terlarut menurut Hem (1959). Sebagai gambaran adalah
air laut mengandung garam-garaman terlarut sekitar 34.000 mg/l.
Daya Hantar
Listrik adalah sifat menghatanrkan listrik dari air. Air yang banyak
mengandung garam akan mempunyai DHL tinggi. Pengukurannya dengan alat Electric Conductivity Meter(EC Meter), yang satuannya
adalah mikromhos/cm atau μmhos/cm atau μsiemens/cm sering ditulis μS/cm. Air
tanah pada umumnya mempunyai harga 100 - 5000 μmhos. Besaran DHL dapat
dikonversikan menjadi jumlah garam terlarut (mg/l), yaitu: 10 m3 μmhos/cm = 640 mg/l atau 1 mg/l
= 1,56 mmhos/cm
(1,56 μS/cm)
Hubungan antara
harga DHL dengan jumlah garam yang terlarut secara tepat perlu banyak koreksi
seperti temperatur pengukuran, maupun tergantung juga dengan jenis garam
yang terlarut, tetapi secara umum angka tersebut di atas sedikit banyak dapat
mewakili.
Keasaman air
dinyatakan dengan pH, mempunyai besaran mulai dari 1-14. Air yang mempunyai pH
7 adalah netral, sedangkan yang mempunyai pH lebih besar/kecil dari 7 disebut
bersifat basa/asam. Jadi air yang mengandung garam kalsium karbonat atau
magnesium karbonat, bersifat basa (pH 7,5 - 8), sedangkan yang mempunyai harga
pH < 7 adalah bersifat asam, sangat mudah melarutkan Fe, sehingga air yang
asam biasanya mempunyai kandungan besi (Fe) tinggi. Pengukuran pH air di
lapangan dilakukan dengan pH meter, atau kertas lakmus (Hadipurwo, 2006).
Kandungan ion
baik kation maupun anion yang terkandung di dalam air diukur banyaknya,
biasanya dalam satuan part per million (ppm) atau mg/l. Ion-ion yang diperiksa
antara lain Na, K, Ca, Mg, Al, Fe, Mn, Cu, Zn, Cl, SO4, CO2, CO3, HCO3, H2SF,
NH4, NO3, , NO2, KMn O4,
SiO2, boron, ion-ion logam yang biasanya jarang akan tetapi ion ini
bersifat sebagai racun antara lain As, Pb, Sn, Cr, Cd, Hg, Co (Hadipurwo,
2006).
Ketiga Sifat Biologi/Bakteri.
Kandungan biologi di dalam air diukur terutama dengan banyaknya bakteri coli.
Untuk standar air minum ada batas maksimum kandungan coli yang
diperbolehkan
Standard
Kualitas Air tanah
Seperti telah
diuraikandi atas, standar kualitas air tanah mempunyai 3 (tiga)
fungsi bagi manusia (Toth, 1990) yaitu : 1. sebagai sumber alam
yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia; 2. bagian dari hidrologi dalam
tanah yang mempengaruhi keseimbangan siklus hidrologi global; dan 3. sebagai
anggota/ agen dari geologi.
Fungsi pertama
air tanah bagi manusia adalah untuk memenuhi berbagai keperluan manusia,
misalnya untuk minum, memasak, mandi, mencuci, irigasi, dan juga dibutuhkan
dalam beberapa proses industri.
Untuk
masing-masing keperluan/penggunaan, ada standar kualitas air
tanah yang harus dipenuhi, sebagai contoh syarat kualitas air
tanah untuk air minum jelas berbeda dengan air tanah untuk proses
industri. Standar kualitas air tanah akan dijelaskan pada sub-bab berikut.
Standar
Kualitas Air Minum
Kemudian, Standar
kualitas air minum yang digunakan di Indonesia dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan RI melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907
Tahun 2002 tentang Pengawasan Kualitas Air Minum, Di samping itu ada
standard air minum lainnya, seperti yang dikeluarkan oleh WHO atau negara lain.
Secara lebih
khusus, untuk menguji kadar Fe dalam air sumur dilakukan dengan metode
spektrofotometri serapan atom (SSA/AAS). Metode analisis AAS didasarkan pada
proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada pada tingkat energi
dasar (ground
state).
Pengujian kadar
Fe dalam air sumur ini berfungsi untuk membandingkan kadar Fe dari beberapa
sampel air sumur yang terletak ditempat yang berbeda-beda, apakah masih
memenuhi standar baku mutu yang telah ditentukan. Sehingga apabila telah
diketahui kadar Fe nya dapat dilakukan tahap selanjutnya. Apabila kadar Fe
melebihi baku mutu, maka perlu dilakukan proses pengurangan/penurunan kadar.
Apabila kandungan Fe dalam air sumur tidak melebihi standar baku mutu, maka
tidak perlu dilakukan proses penurunan kadar.
Cara menurunkan
kadar Fe yang umum digunakan yaitu dengan cara dioksidasi. Air dikontakkan
sebanyak mungkin dengan udara (aerasi). Dengan cara ini maka air sumur yang
mempunyai kadar Fe tinggi dapat diturunkan kadarnya sehingga baik untuk
dikonsumsi. Cara seperti itu cukup baik, namun untuk melihat mutu air seperti proses
laboratorium tersebut, bagi tingkat awam untuk melakukan pengujian laboratorium
tidak mudah, selain itu juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Kini, tak perlu
khawatir. Saat ini orang tak perlu lagi susah-susah mencari tahu tentang
kualitas air yang dikonsumsi. Pasalnya kini telah tersedia alat sederhana
dengan ukuran relatif kecil yang yang terdapat pada paket staterkit vo2.
Tentunya juga makin memudahkan untuk melakukan tes secara mandiri, tak perlu
menunggu waktu lama. Cukup satu atau tiga menit kita sudah bisa melihat
kualitas air yang diminum dengan melihat perubahan warna dalam air, memang belum sedetail hasil penelitian di
laboratorium. Namun secara kasat bisa lebih mudah dilihat hasilnya secara
langsung. Alat yang mengadopsi teknologi
laboratorium ini bernama electro analyzer atau lebih dikenal dengan
elektrolizer.
Standar Air Tanah
Untuk Bersuci (thaharah)
Islam
memandang, air adalah benda yang istimewa dan punya kedudukan khusus, yaitu
menjadi media utama untuk melakukan ibadah ritual berthaharah. Air merupakan
media yang berfungsi untuk menghilangkan najis, sekaligus juga berfungsi
sebagai media untuk menghilangkan hadats.
Kendati ada benda lain juga bisa dijadikan
media berthaharah, namun air adalah media yang utama. Sebagai contoh adalh
tanah. Tanah memang dapat berfungsi untuk menghilangkan najis, tetapi yang
utama tetap air. Najis berat seperti jilatan anjing, disucikan dengan air
7 kali, tanah hanya salah satunya saja. Tanah memang bisa digunakan untuk
bertayammum, namun selama masih ada air, tayammum masih belum dikerjakan.
Berbicara air yang terkait dengan thaharah (besuci
baik untuk menghilangkan hadats mapun najis), Islam membagi tingkatan air
menjadi beberapa jenis. Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa
keadaan, terkait dengan hukumnya untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang
kita dapat di dalam kitab fiqh, mereka membaginya menjadi 4 macam, yaitu
: air mutlaq, air musta’mal, air yang tercampur benda yang suci, dan air yang
tercampur dengan benda yang najis.
AIR MUTLAQ
Air
mutlaq adalah netral, yakni keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air
itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda
suci atau pun benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk
digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Dalam fiqih dikenal
dengan istilah thahirun li
nafsihi muthahhirun li ghairihi.
Air
yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan
untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi,
misalnya air teh, air kelapa atau air-air lainnya. Air tersebut tidak boleh digunakan untuk mensucikan seperti untuk
berwudhu` atau mandi. Air yang suci tapi tidak mensucikan namun setiap air yang
mensucikan, pastilah air yang suci hukumnya.
Adapun
yang termasuk diantara air-air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan
ini antara lain adalah :
Air Hujan. Air hujan yang turun dari langit hukum suci dan juga
mensucikan. Suci berarti bukan termasuk najis. Mensucikan berarti bisa
digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau membersihkan najis pada suatu
benda.
Meski
pun di zaman sekarang ini air hujan sudah banyak tercemar dan mengandung asam
yang tinggi, namun hukumnya tidak berubah, sebab kerusakan pada air hujan
diakibatkan oleh polusi dan pencemaran ulah tangan manusia dan zat-zat yang
mencemarinya itu bukan termasuk najis.
Ketika
air dari bumi menguap naik ke langit, maka sebenarnya uap atau titik-titik air
itu bersih dan suci. Meskipun sumbernya dari air yang tercemar, kotor atau
najis. Sebab ketika disinari matahari, yang naik ke atas adalah uapnya yang
merupakan proses pemisahan antara air dengan zat-zat lain yang mencemarinya.
Lalu air itu turun kembali ke bumi sebagai tetes air yang sudah mengalami
proses penyulingan alami. Jadi air itu sudah menjadi suci kembali lewat proses
itu.
Hanya
saja udara kota yang tercemar dengan asap industri, kendaraan bermotor dan
pembakaran lainnya memenuhi langit kita. Ketika tetes air hujan itu turun,
terlarut kembalilah semua kandungan polusi itu di angkasa. Namun meski
demikian, dilihat dari sisi syariah dan hukum air, air hujan itu tetap suci dan
mensucikan. Sebab polusi yang naik ke udara itu pada hakikatnya bukan termasuk
barang yang najis. Meski bersifat racun dan berbahaya untuk kesehatan, namun
selama bukan termasuk najis sesuai kaidah syariah, tercampurnya air hujan
dengan polusi udara tidaklah membuat air hujan itu berubah hukumnya sebagai air
yang suci dan mensucikan.
Apalagi polusi udara itu masih terbatas pada
wilayah tertentu saja seperti perkotaan yang penuh dengan polusi udara. Di
banyak tempat di muka bumi ini, masih banyak langit yang biru dan bersih
sehingga air hujan yang turun di wilayah itu masih sehat. Tentang sucinya air
hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah SWT telah berfirman :
Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu
penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit
untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh
dengannya telapak kaki. (QS. Al-Anfal
: 11)
Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira
dekat sebelum kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang
amat bersih. (QS. Al-Furqan : 48)
Salju. Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang
turun dari langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang membuatnya menjadi
butir-butir salju yang intinya adalah air juga namun membeku dan jatuh sebagai
salju.
Hukumnya tentu saja sama dengan hukum air
hujan, sebab keduanya mengalami proses yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya
saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju yang turun dari langit atau salju
yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci, baik wudhu`, mandi atau lainnya.
Tentu saja harus diperhatikan suhunya agar
tidak menjadi sumber penyakit. Ada hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan
tentang kedudukan salju, kesuciannya dan juga fungsinya sebagai media
mensucian. Di dalam doa iftitah setiap shalat, salah satu versinya menyebutkan
bahwa kita meminta kepada Allah SWT agar disucikan dari dosa dengan air, salju
dan embun.
Dari Abi Hurairah ra
bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya
antara takbir dan al-fatihah, beliau menjawab,"Aku membaca,"Ya Allah,
Jauhkan aku dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara
Timur dan Barat. Ya Allah, sucikan aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana
pakaian dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari
kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun". (HR. Bukhari 744,
Muslim 597, Abu Daud 781 dan Nasai 60)
Embun.
Embun juga bagian dari air yang turun
dari langit, meski bukan berbentuk air hujan yang turun deras. Embun lebih
merupakan tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di hamparan kedaunan pada
pagi hari. Tetes embun yang ada pada dedaunan atau pada barang yang suci, bisa
digunakan untuk mensucikan, baik untuk berwudhu, mandi, atau menghilangkan
najis. Dalilnya sama dengan dalil di
atas yaitu hadits tentang doa iftitah riwayat Abu Hurairah ra.
Air
Laut. Air laut adalah air yang suci
dan juga mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu, mandi janabah
ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’). Termasuk juga
untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.
Meski pun rasa air laut itu asin karena
kandungan garamnya yang tinggi, namun hukumnya sama dengan air hujan, air embun
atau pun salju. Bisa digunakan untuk mensucikan. Sebelumnya para shahabat
Rasulullah SAW tidak mengetahui hukum air laut itu, sehingga ketika ada dari
mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air yang mereka bawa hanya cukup
untuk keperluan minum, mereka berijtihad untuk berwudhu` menggunakan air laut.
Sesampainya kembali ke daratan, mereka langsung
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukum menggunakan air laut sebagai media
untuk berwudhu`. lalu Rasulullah SAW menjawab bahwa air laut itu suci dan
bahkan bangkainya pun suci juga.
Dari Abi Hurairah ra
bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah, kami mengaruhi
lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu,
pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah
SAW menjawab,`(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud 83,
At-Tirmizi 79, Ibnu Majah 386, An-Nasai 59, Malik 1/22).
Hadits ini sekaligus juga menjelaskan bahwa
hewan laut juga halal dimakan, dan kalau mati menjadi bangkai, bangkainya tetap
suci.
Air
Zam-zam. Air Zam-zam adalah air yang
bersumber dari mata air yang tidak pernah kering. Mata air itu terletak
beberapa meter di samping ka`bah sebagai semua sumber mata air pertama di kota
Mekkah, sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya pertama kali
menjejakkan kaki di wilayah itu. Bolehnya air zam-zam untuk digunakan bersuci
atau berwudhu, ada sebuah hadits Rasulullah SAW dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu.
Dari Ali bin Abi thalib
ra bahwa Rasulullah SAW meminta seember penuh air zam-zam. Beliau meminumnya
dan juga menggunakannya untuk berwudhu`. (HR. Ahmad).
Selain boleh digunakan untuk bersuci, disunnahkan
buat kita untuk minum air zam-zam, lantaran air itu memiliki kemulian
tersendiri di sisi Allah. Namun para ulama sedikit berbeda pendapat tentang
menggunakan air zamzam ini untuk membersihkan najis, menjadi 3 pendapat :
* Pendapat Pertama. Mazhab Al-Hanafiyah,
mazhab Asy-Syafi'iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa
air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats, yaitu berwudhu atau mandi
janabah. Namun kurang disukai (karahah) kalau digunakan untuk membersihkan
najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang sangat mulia, sehingga
mereka cenderung kurang menyukai bisa kita membersihakn najis dengan air
zamzam.
* Pendapat Kedua. Mazhab Al-Malikiyah secara
resmi tidak membedakan antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat
hadats atau untuk membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah.
Dalam pandangan mereka, air zamzam boleh digunakan untuk bersuci, baik untuk
wudhu, mandi, istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada badan,
pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air zam-zam.
* Pendapat Ketiga. Imam Ahmad bin Hanbal
dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasuk
karahah (kurang disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci, baik
untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah), apalagi untuk membersihkan
najis.
Pendapat ini didukung dengan dalil atsar
dari shahabat Nabi SAW yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu : Aku tidak
menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid, namun air zamzam itu
buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu'
Air Sumur atau Mata Air. Air sumur, mata air dan dan air sungai adalah air yang
suci dan mensucikan. Sebab air itu keluar dari tanah yang telah melakukan
pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air itu untuk wudhu, mandi atau
mensucikan diri, pakaian dan barang dari najis.
Dalil
tentang sucinya air sumur atau mata air adalah hadits tentang sumur Budha`ah
yang terletak di kota Madinah.
Dari
Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah
kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah?, padahal sumur itu yang digunakan
oleh wanita yang haidh, dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk.
Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR.
Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i
35)5.
Air Sungai. Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci, karena
dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahuu umat
Islam terbiasa mandi, wudhu` atau membersihkan najis termasuk beristinja’
dengan air sungai. Namun seiring dengan
terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi, terutama di
kota-kota besar, air sungai itu tercemar berat dengan limbah beracun yang meski
secara hukum barangkali tidak mengandung najis, namun air yang tercemar dengan
logam berat itu sangat membahayakan kesehatan.
Maka
sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih
besar. Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah
ternak, limbah WC atau bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga
lama-kelamaan air sungai berubah warna, bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu
menjadi najis meski jumlahnya banyak.
Sebab
meskipun jumlahnya banyak, tetapi seiring dengan proses pencemaran yang terus
menerus sehingga merubah rasa, warna dan aroma yang membuat najis itu terasa
dominan sekali dalam air sungai, jelaslah air itu menjadi najis. Maka tidak
syah bila digunakan untuk wudhu`, mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu
bila benar-benar terasa rasa, aroma dan warnanya berubah seperti bau najis.
Umumnya
hal itu tidak terjadi pada air laut, sebab jumlah air laut jauh lebih banyak
meskipun pencemaran air laut pun sudah lumayan parah dan terkadang menimbulkan
bau busuk pada pantai-pantai yang jorok.
AIR MUSTA’MAL
Jenis
yang kedua dari pembagian air adalah air yang telah digunakan untuk bersuci.
Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang, atau sisa juga
air bekas mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk
lagi ke dalam penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air
musta'mal.
Kata
musta'mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu yang bermakna menggunakan.
Maka air musta'mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan
thaharah, yaitu berwudhu atau mandi janabah.
Air
musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan, atau membasuh muka atau
bekas digunakan untuk keperluan lain, selain untuk wudhu’ atau mandi janabah.
Air
sisa bekas cuci tangan, cuci muka, cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan
mandi janabah, atau bukan bekas wudhu, statusnya tetap air mutlak yang bersifat
suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal, karena bukan
digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.
Lalu
bagaimana hukum menggunakan air musta'mal ini? Masih bolehkah sisa air yang
sudah digunakan utuk berwudhu atau mandi janabah digunakan lagi untuk wudhu
atau mandi janabah?
Dalam
hal ini memang para ulama berbeda pendapat, apakah air musta’mal itu boleh
digunakan lagi untuk berwudhu’ dan mandi janabah?.
Perbedaan
pendapat itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah SAW yang kita terima
dari Rasulullah SAW. Beberapa nash hadits itu antara lain :
Dari Abi Hurairah
ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Janganlah sekali-kali seorang kamu
mandi di air yang diam dalam keadaan junub. (HR. Muslim)
”Janganlah
sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam tidak mengalir, kemudian dia
mandi di dalam air itu”.7 Riwayat Muslim,”Mandi dari air itu”.8 Dalam riwayat
Abu Daud,”Janganlah mandi janabah di dalam air itu. (HR. Muslim)
Dari seseorang
yang menjadi shahabat nabi SAW berkata,”Rasululllah SAW melarang seorang wanita
mandi janabah dengan air bekas mandi janabah laki-laki. Dan melarang laki-laki
mandi janabah dengan air bekas mandi janabah perempuan. Hendaklah mereka
masing-masing menciduk air. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)10
Dari Ibnu Abbas
ra bahwa Nabi SAW pernah mandi dengan air bekas Maimunah ra. (HR. Muslim)
Riwayat Ashhabussunan: ”Bahwasanya
salah satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember kemudian datang Nabi dan
mandi dari padanya lalu berkata isterinya, ”saya tadi mandi janabat, maka jawab
Nabi SAW.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat”.
Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata pengertian
musta’mal di antara fuqaha’ mazhab masih terdapat variasi perbedaan. Sekarang
mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para
fuqaha tentang pengertian air musta'mal, atau bagaimana suatu air itu bisa
sampai menjadi musta'mal :
a. Ulama Al-Hanafiyah. Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi
musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di
dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari
tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat
hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya
untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah. Sedangkan air yang di dalam
wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci
tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa
digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
b. Ulama Al-Malikiyah. Air musta’mal dalam pengertian mereka
adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi.
Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang
telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan ‘bahwa yang
musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh
seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat
mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan sah digunakan
digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya
meski dengan karahah (kurang disukai).
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah. Air musta’mal dalam pengertian mereka
adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu
taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang
diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan
yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan
dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal
adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau
mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal
kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.
Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk
berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi
tidak mensucikan.
d. Ulama
Al-Hanabilah. Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah
digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi)
atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali
pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun
aromanya.
Selain itu air
bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu
digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah,
maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam
rangkaian ibadah ritual wudhu`. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan
dengan ritual ibadah wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi,
maka belum dikatakan musta’mal. Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah
selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan
lainnya dan datang lagi untuk wudhu` atau mandi lagi dengan air yang sama.
Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal
yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 c, maka tidak
mengakibatkan air itu menjadi `tertular` ke-musta’mal-annya.
Batasan Volume 2 Qullah
Para ulama ketika membedakan air musta'mal dan bukan
(ghairu) musta'mal, membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai
batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta'mal. Bila volume air
itu telah melebihi volume minimal, maka air itu terbebas dari kemungkinan
musta'mal. Itu berarti, air dalam jumlah tertentu, meski telah digunakan untuk
wudhu atau mandi janabah, tidak terkena hukum sebagai air musta'mal.
Dasarnya
adalah sabda Rasulullah SAW : Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, “Rasulullah SAW
telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak mengandung
kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (HR Abu Dawud, Tirmidhi,
Nasa’i, Ibnu Majah)16
Hadits
inilah yang mendasari keberadaan volume air dua qullah, yang menjadi batas
volume air sedikit. Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang
membatasai kemusta'malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran
volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran
ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume
benda cair dengan liter, kubik atau barrel.
Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang digunakan
di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya, para ulama fiqih
di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah.
Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan istilah kati.
Ukuran rithl ini pun tidak standar di beberapa negeri Islam. 1 rithl buat orang
Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran 1 rithl buat orang Mesir.
Jadi,
ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya. Dalam banyak kitab fiqih
disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi
kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir
mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446
3/7 rithl. Begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan
ukuran mereka yang namanya rithl juga, jumlahnya hanya 81 rithl. Namun
demikian, mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama, yang menyebabkan
berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan
volume 1 rithl Syam.
Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam
ukuran standar besaran international dimasa sekarang ini? Para ulama
kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan
ternyata Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.
Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu
digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air yang sudah
digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta’mal. Air itu
suci secara pisik, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau
mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka
tidak dikategorikan air musta’mal.
AIR
YANG TERCAMPUR DENGAN BARANG YANG SUCI
Jenis
air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang
yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan
sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat
padanya. Apabila air telah keluar dari
karakternya sebagai air mutlak atau murni, air itu hukumnya suci namun tidak
mensucikan. Misalnya air dicampur dengan susu, meski air itu suci dan susu juga
benda suci, tetapi campuran antara air dan susu sudah menghilangkan sifat utama
air murni menjadi larutan susu. Air yang seperti ini tidak lagi bisa dikatakan
air mutlak, sehingga secara hukum tidak sah kalau digunakan untuk berwudhu'
atau mandi janabah. Meski pun masih tetap suci.
Demikian
juga dengan air yang dicampur dengan kaldu daging, irisan daging dan
bumbu-bumbu. Air itu kita anggap sudah keluar dari karakter kemutalakannya.
Bahkan kita sudah tidak lagi menyebutnya sebagai air, melainkan kita sebut
'kuah bakso'. Tentu saja kita tidak dibenarkan berwudhu dengan kuah bakso.
Hal yang sama terjadi pada kasus air yang
dicampur dengan benda lain, seperti teh tubruk, kopi, wedhang ronde, santan
kelapa, kuah gado-gado, kuah semur dan opor dan seterusnya, meski semua
mengandung air dan tercampur dengan benda suci, namun air itu mengalami
perubahan karakter dan kehilangan kemutlakannya. Sehingga air itu meski masih
suci tapi tidak sah untuk dijadikan media bersuci.
Tentang kapur barus, ada hadits yang
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat
dengan menggunakannya. Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah
SAW bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu
dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR.
Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu
Majah 1458).
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali
dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapur dan sidr
itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang
tercampur dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.
Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mandi
bersama Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari
tepung. (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240)
AIR
MUTANAJJIS
Air mutanajjis artinya adalah air yang
tercampur dengan barang atau benda yang najis. Air yang tercampur dengan benda
najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga
atau bisa juga sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya tergantung
dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah tercampur benda
yang najis. Dan perubahan itu sangat erat kaitannya dengan perbandingan jumlah
air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit seperti air
di dalam kolam kamar mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai
anjing, kita akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi
najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang
besar dan jumlah volume air yang kecil.
Tapi dalam kasus bangkai anjing
itu dibuang ke dalam danau yang luas, tentu tidak semua air di danau itu
menjadi berubah najis. apalagi kalau airnya adalah air di lautan. Di laut sudah
tidak terhitung jumlah najis, tetapi semua najis itu dibandingkan dengan jumlah
volume air laut, tentu bisa diabaikan. Kecuali air laut yang berada di
dekat-dekat sumber najis yang mengalami perubahan akibat tercemar najis, maka
hukumnya juga ikut najis.
Indikator Kenajisan
Agar kita bisa menilai apakah air yang ke
dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, maka
para ulama membuat indikator, yaitu rasa, warna atau aromanya.
a. Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Bila berubah rasa, warna atau aromanya
ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu iut
menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
b. Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas
tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan. Baik air itu sedikit
atau pun banyak. Dalilnya adalah hadits tentang a`rabi (arab kampung) yang
kencing di dalam masjid :
Dari
Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan kencing di dalamnya.
Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersabda,`biarkan
saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air. Sesungguhnya
kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk menyusahkan. (HR. Bukhari
220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu Majah 529).
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa
seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur
Budha`ah? Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh
sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad 3/31-87, Al-Imam
Asy-Syafi`i 35)
AIR
MUSAKHKHAN MUSYAMMASY
Air musakhkhan, artinya adalah air yang dipanaskan.
Sedangkan musyammas, diambil dari kata
syams yang artinya matahari. Jadi air musakhkhan musyammas artinya adalah air
yang berubah suhunya menjadi panas akibat sinar matahari. Sedangkan air yang
dipanaskan dengan kompor atau dengan pemanas listrik, tidak termasuk ke dalam
pembahasan disini.
Hukum air ini untuk digunakan berthaharah
menjadi hal khilafiyah di kalangan ulama. Berikut ini pandangan ulama.
a. Pendapat Yang Membolehkan Mutlak
Pendapat ini mengatakan tidak ada bedanya
antara air yang dipanaskan oleh matahari atau air putih biasa. Keduanya
sama-sama suci dan mensucikan dan boleh digunakan tanpa ada kemakruhan. Yang
berpendapat seperti ini adalah umumnya jumhur mazhab Al-Hanafiyah dan
Al-Hanabilah. Bahkan sebagian ulama di kalangan Asy-Syafi'iyah seperti
Ar-Ruyani dan Al-Imam An-Nawawi sekali pun juga berpendapat sama.
b. Pendapat Yang Memakruhkan
Pendapat ini cenderung memakruhkan air yang
dipanaskan oleh sinar matahari. Di antara mereka yang memakruhkannya adalah
mazhab Al-Malikiyah dalam pendapat yang muktamad, sebagian ulama di kalangan
mazhab dan sebagian Al-Hanafiyah.
Pendapat yang kedua ini umumnya mengacu
kepada atsar dari shahabat Nabi SAW, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu,
yang memakruhkan mandi dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari. “Bahwa
beliau memakruhkan mandi dengan menggunakan air musyammas” (HR. Asy-Syafi'i)
Larangan
ini disinyalir berdasarkan kenyataan bahwa air yang dipanaskan lewat sinar
matahari langsung akan berdampak negatif kepada kesehatan, sebagaimana
dikatakan oleh para pendukungnya sebagai yakni mengakibatkan penyakit belang.
“Jangan lakukan itu
wahai Humaira' karena dia akan membawa penyakit belang”. (HR. Ad-Daruquthuny)
Kemakruhan yang mereka kemukakan
sesungguhnya hanya berada pada wilayah kesehatan, bukan pada wilayah syariah.
Namun mereka yang mendukung pendapat ini, seperti Ad-Dardir menyatakan air
musyammas musakhkhan ini menjadi makruh digunakan untuk berthaharah, manakala
dilakukan di negeri yang panasnya sangat menyengat seperti di Hijaz (Saudi
Arabia). Sedangkan negeri yang tidak mengalami panas yang ekstrim seperti di
Mesir atau Rum, hukum makruhnya tidak berlaku.
AIR
MUSAKHKHAN GHAIRU MUSYAMMASY
Musakhkhan ghairu musyammasy artinya adalah
air yang menjadi panas tapi tidak karena terkena sinar matahari langsung. Al-Malikiyah
dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa air yang ini tidak makruh untuk digunakan
wudhu atau mandi janabah, lantaran tidak ada dalil yang memakruhkan.
Bahkan
Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan meski air itu menjadi panas lantaran
panasnya benda najis, tetap saja air itu boleh digunakan untuk berthaharah. Namun bila air itu bersuhu sangat tinggi
sehingga sulit untuk menyempurnakan wudhu dengan betul-betul meratakan anggota
wudhu dan air secara benar-benar (isbagh), hukumnya menjadi makruh, bukan
karena panasnya tetapi karena tidak bisa isbagh.
NETRALISASI
DAN PENSUCIAN AIR
Air yang sudah terkena pencemaran najis
masih bisa disucikan kembali, asalkan memenuhi ketentuan atau kriteria yang
telah ditetapkan. Abu Ja'far Al-Hindawani dan Abu Al-Laits mengatakan bila air
yang mengandung najis itu mendapat suplai air suci dari luar sedangkan air yang
mengadung najis tadi sebagiannya juga keluar, sehingga terjadi aliran atau
siklus, maka hukumnya kembali lagi menjadi suci ketika bekas-bekas atau
tanda-tanda najis itu sudah hilang. Pada saat itu air itu sudah dianggap air
yang mengalir seperti sungai dan sejenisnya.
Abu
Bakar Al-A'masy mengatakan bahwa air yang terkena najis dalam suatu wadah harus
mendapatkan suplai air suci baru, dimana air yang sebelumnya juga mengalir
keluar kira-kira sebanyak tiga kali volume air yang ada sebelumnya. Dalam hal
ini dianggap air itu sudah dicuci 3 kali.
Al-Malikiyah
mengatakan bahwa air yang najis itu akan kembali menjadi suci manakala
dituangkan lagi ke dalamnya air yang baru, sehingga tanda-tanda kenajisannya
menjadi hilang.
AS-SU’RU
As-Su’ru adalah sisa yang tertinggal pada
sebuah wadah air setelah seseorang atau hewan meminumnya. Dalam masalah fiqih,
hal ini menjadi persoalan tersendiri, sebab air itu tercampur dengan ludah
hewan tersebut, sementara hewan itu boleh jadi termasuk di antara hewan yang
air liurnya najis.
Su’ru
Manusia
Manusia
itu tidak najis, baik manusia itu laki-laki atau wanita. Termasuk juga wanita
yang sedang mendapatkan haidh, nifas atau istihadhah. Juga orang yang sedang
dalam keadaan junub karena mimpi, mengeluarkan mani atau sehabis melakukan
hubungan seksual. Sebab pada dasarnya manusia itu suci. Dasar kesucian tubuh
orang yang sedang junub atau haidh adalah hadits berikut ini.
Dari Aisyah ra berkata,`Aku minum dalam
keadaan haidh lalu aku sodorkan minumku itu kepada Rasulullah SAW. Beliau
meletakkan mulutnya pada bekas mulutku. (HR. Muslim)
Begitu
juga hukumnya orang kafir, sisa minumnya itu tetap suci dan tidak merupakan
najis. Sebab tubuh orang kafir itu tetap suci meski dia tidak beriman kepada Allah
SWT dan Rasulullah SAW. Kalau pun ada ungkapan bahwa orang kafir itu najis,
maka yang dimaksud dengan najis adalah secara maknawi, bukan secara zhahir atau
jasadi. Seringkali orang salah mengerti dalam memahami ayat Al-Quran Al-Kariem
berikut ini :
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis ,
maka janganlah mereka mendekati masjidi al-haram sesudah tahun ini. (QS.
At-Taubah : 28)
Dahulu
orang-orang kafir yang datang kepada Rasulullah SAW bercampur baur dengan umat
Islam. Bahkan ada yang masuk ke dalam masjid. Namun Rasulullah SAW tidak pernah
diriwayatkan memerintahkan untuk membersihkan bekas sisa orang kafir. Ada
hadits Abu Bakar berikut ini :
Rasulullah
SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian, lalu disodorkan sisanya itu
kepada a`rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya, lalu
disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama)
lalu beliau berkata,`Ke kanan dan ke kanan`. (HR. Bukhari)
Kecuali bila manusia itu baru saja meminum
khamar, maka hukum ludah atau su’runya menjadi haram.
Su’ru Hewan
Hukum
su’ru hewan atau air yang telah kemasukkan moncong hewan, sangat tergantung
dari hukum hewan itu, apakah hewan itu najis atau tidak. Para ulama lantas
membedakannya sesuai dengan kriteria itu.
Su’ru
Hewan Yang Halal Dagingnya.
Bila
hewan itu halal dagingnya maka su’ru nya pun halal juga atau tidak menjadikan
najis. Sebab ludahnya timbul dari dagingnya yang halal. Maka hukumnya mengikuti
hukum dagingnya.
Abu
Bakar bin Al-Munzir menyebutkan bahwa para ahli ilmu telah sepakat tentang hal
ini. Air yang bekas diminum oleh hewan yang halal dagingnya boleh digunakan
untuk berwudhu, mandi janabah atau memberishkan najis.
Su’ru Anjing dan Babi
Anjing dan babi adalah hewan yang najis
bahkan termasuk najsi mughallazhah atau najis yang berat. Hal ini sudah menjadi
kesepakatan semua ulama.
Dari
Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila seekor anjing minum dari
wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali. (HR. Bukhari 172, Muslim 279.
Dari Abi Hurairah ra
bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing
adalah dengan mencucinya 7 kali". Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim
disebutkan salahsatunya dengan tanah". (HR. Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)
Sedangkan
najisnya babi sudah jelas disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem, “Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
disebut selain Allah . Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 173)
Diharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah,
yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk
berhala. Dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah kefasikan .(QS. Al-Maidah
: 3)
Katakanlah: `Tiadalah
aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang`.(QS. Al-A`nam : 145)
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan apa yang
disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa
memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nahl : 115)
Su’ru Kucing
Hukum kucing itu sendiri berbeda-beda dalam
pandangan ulama. Sebaigan ulama mengatakan najis dan sebagian ulama lainnya
mengatakan tidak najis. At-Thahawi mengatakan bahwa kucing itu najis karena
dagingnya najis bagi kita. Dan karena itu pula maka ludahnya atau sisa minumnya
pun hukumnya najis. Sebab dagingnya pun najis. Namun meski demikian, karena ada
dalil yang secara khusus menyebutkan bahwa sisa minum kucing itu tidak najis,
maka ketentuan umum itu menjadi tidak berlaku, yaitu ketentuan bahwa semua yang
dagingnya najis maka ludahnya pun najis. Minimal khusus untuk kucing.
Dalil yang menyebutkan tidak najisnya ludah
kucing itu adalah hadits berikut ini : Rasulullah SAW bersabda,"Kucing itu
tidak najis, sebab kucing itu termasuk yang berkeliaran di tengah kita".
(HR. Abu Daud 75, At-Tirmizy 92, An-Nasai 68, Ibnu Majah 367, Ahmad 5/303)
Sedangkan
Al-Kharkhi dan Abu Yusuf mengatakan bahwa su’ru kucing itu hukumnya makruh.
Alasannya adalah bahwa kucing itu serng menelan atau memakan tikus yang tentu
saja mengakibatkan su’runya saat itu menjadi najis.
Dalam hal ini Abu Hanifah juga sependapat
bahwa kucing yang baru saja memakan tikus, maka su’runya najis. Sedangkan bila
tidak langsung atau ada jeda waktu tertentu, maka tidak najis. Hal ini sesuai dengan hukum su’ru manusia yang
baru saja meminum khamar, maka ludahnya saat itu menjadi najis.
Su’ru
Keledai dan Bagal
Bila sesekor keledai atau bagal minum dari
suatu air, maka sisa air itu hukumnya masykuk (diragukan) antara halal atau
tidak halal untuk digunakan wudhu’ dan mandi. Sebab ada beberapa dalil yang
saling bertentangan sehingga melahirkan khilaf di kalangan para ulama. Pengharaman
su’ru kepada kedua jenis hewan ini berdasarkan ketentuan bahwa bila daging
seekor hewan itu najis, maka ludahnya pun ikut menjadi najis. Para ulama
mengatakan bahwa daging keledai dan bagal itu najis, maka kesimpulannya mereka
yang menajiskan su’ru kedua hewan ini adalah najis.
Sebaliknya, ada pula yang tidak
menajiskannya dengan berdasarkan kepada hadits berikut ini : Dari Jabir ra dari
Rasulullah SAW bahwa beliau ditanya,`Bolehkah kami berwudhu denga air bekas
minum keledai?. Rasulullah SAW menajawab,`Ya, boleh,`. (HR. Ad-Daruquthuny 173,
Al-Baihaqi 1/329).
Perbedaan
Pendapat hukum su’ru hewan di Kalangan Fuqaha’
Para Fuqaha’ besar berbeda pendapat dalam
masalah hukum su’ru hewan. Diantaranya adalah pendapat berikut ini :
a. Imam Abu Hanifah. Pendapat beliau
terhadap masalah su’ru hewan ini terbagi menjadi empat besar sesuai dengan
jenis hewan tersebut. Sebagaimana yang sudah kami bahas di atas.
b.
Al-Imam Malik. Sebaliknya, Al-Imam Malik justru mengatakan bahwa hukum su’ru
semua jenis hewan itu halal. Tidak pandang apakah hewan itu najis atau tidak. Sebab
beliau berpendapat bahwa untuk menajiskan su’ru itu harus ada dalil yang kuat
dan sharih, tidak bisa sekedar mengikuti dagingnya yang bila dagingnya halal
lalu ludahnya ikut halal atau bila dagingnya haram ludahnya ikut haram.
c.
Al-Imam Asy-Syafi`i. Beliau berpendapat bahwa semua jenis su’ru hewan itu
halal, kecuali hanya su’ru anjing dan babi saja yang haram. Dalil yang
digunakan oleh mazhab beliau adalah bahwa pada dasarnya Islam tidak memberatkan
para pemeluknya. Kecuali bila benar-benar sharih dan kuat dalilnya berdasarkan
Al-Quran Al-Kariem dan sunnah. Sebab Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran
Al-Kariem :
“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Maidah : 6)
dan “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
(QS. Al-Hajj : 78) (Ubes Nur Islam
dari berbagai sumber)